SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Kamis, 23 April 2009

Lingga nan Elok


Kamis, 26 Maret 2009

Mesin Mati, Sriwijaya Mendarat Darurat


Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 039 yang berangkat dari Bandara Raja Haji fi Sabilillah (RHF) Tanjungpinang tujuan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Senin (23/3) sekitar pukul 07.30 WIB, mendarat darurat di Bandara Hang Nadim, Senin (23/3) sekitar pukul 07.58 WIB lantaran mesin sebelah kiri mati setelah pesawat terbang 10 menit.

Dalam penerbangan ini, jumlah penumpang 116 orang, satu orang di antaranya anak-anak berumur empat tahun. Ditambah enam kru, yakni satu pilot, satu co-pilot dan empat kabin kru. Pesawat dipiloti Capt Terry dan co-pilot Deron.

Pesawat Boeing 737-200 itu terbang sesuai jadwal. Salah seorang penumpang, Eriyana Agus menuturkan, tak ada tanda-tanda pesawat akan mengalami kerusakan sebelum terbang. Tapi baru 10 menit terbang, penumpang dikejutkan munculnya suara seperti ledakan.


”Penumpang semua terkejut. Suaranya cukup keras. Seperti ada yang meledak,” kata Agus di ruangan tunggu Hang Nadim.


Sama halnya dengan penumpang lain, ia pun bertanya-tanya apa yang terjadi. Tak lama berselang, pramugari pesawat memberikan informasi adanya gangguan mesin pesawat. Penumpang diminta tenang. Pramugari juga memberitahukan pesawat akan mendarat di Bandara Hang Nadim.


Kata Agus, setelah adanya kerusakan di mesin pesawat, penerbangan tak terganggu. Ia melihat penumpang lain juga terlihat tenang. Tak ada yang menangis, termasuk anak kecil yang ada di dalam pesawat. ”Saya tak trauma. Cuma terkejut adanya suara ledakan saja. Pesawat juga tak oleng, setelah mesinnya mati sebelah,” ujarnya.


Penumpang lain, Damsiri mengaku terkejut dengan adanya suara seperti ledakan saat pesawat belum lama terbang. Kejadian itu, katanya terjadi sebelum pramugari membagikan makanan ringan.”Suara cukup keras, tapi tak ada goncangan,” ujar Kabid Pendidikan Dasar Disdik Kepri ini.


Dalam pesawat itu juga ada Kepala Badan Penanaman Modal dan Investasi Daerah (BPID) Kepri, Syed Taufik dan Kakan Kesbang Linmas Kab Bintan, Dian Nusa. Kepada Batam Pos, Senin (23/3) Dian Nusa, mengatakan saat itu dia duduk di bangku depan sebelah kiri dan saat pesawat baru terbang sekitar 10 menit di mesin sebelah kiri terdengar bunyi yang aneh. Tak lama setelah tu diumumkan ada kerusakan teknis di pesawat dan karenanya pesawat akan kembali tapi ke Bandara Hang Nadim, Batam.


”Setelah bunyi di mesin itu, kecepatan pesawat seperti berkurang. Saat itu penumpangnya penuh dan nampaknya banyak yang langsung pucat. Tapi akhirnya berhasil mendarat mulus walaupun pesawat terasa agak bergoyang,” kata Dian, yang masih berada di Bandara Hang Nadim, Batam.


Atas kejadian itu dia mengaku tidak terlalu terpengaruh dan rencananya akan tetap berangkat ke Jakarta. Tapi, karena dua rekannya yang lain trauma dan memilih balik ke Tanjungpinang. Maka, diapun memilih sikap sama dengan tidak menunda rencana keberangkatan ke Jakarta itu.


Secara terpisah, Ka BPID Prov Kepri, Syed Taufik yang dikonfirmasi terpisah juga tidak terlalu terpengaruh atas kejadian itu. Sebab, dia meyakini jika waktunya sudah tiba di manapun tempatnya bisa terjadi. Walau diakuinya saat mendengar bunyi mesin sebelah kiri ada yang aneh jantungnya seperti mau lepas. Karenanya setelah mendarat dengan selamat di Batam, dia langsung melanjutkan perjalanannya ke Jakarta dengan pesawat milik maskapai Batavia Air.


”Setelah bunyi itu pesawat sempat guncang dan sebelum pramugari bilang pesawat akan kembali. Saya dah yakin kembalinya pasti ke Batam. Waktu dengar bunyi mesin tu jantung macam nak lepas. Tapi saya yakin segalanya tergantung pada Yang Di Atas. Dengan satu mesin pesawat bisa mendarat dengan baik, pilotnya bagus,” ujar Syed Taufik yang saat dikonfirmasi sudah berada di Jakarta.

KNKT Tak Kirim Ivestigator


Kepala Kelompok Seksi Keselamatan Penerbangan Hang Nadim, Elfi Amir mengatakan, Sriwijaya Air mengalami kerusakan mesin sebelah kiri. Namun, penyebabnya belum diketahui. ”Engine I yang bermasalah. ATC kita terima informasi dari Singapura jam 07.39 WIB. Petugas ATC langsung berkoordinasi untuk memandu pendaratan darurat,” kata Elfi di Hang Nadim.


Ada empat petugas ATC yang memandu pendaratan pesawat, yaitu Aris, Dodi, Angga dan Ari. Pesawat akhirnya mendarat dengan sempurna di runway 04. Usai mendarat, penumpang dibawa ke ruangan tunggu untuk menunggu arahan dari pihak Sriwijaya Air.


Saat ini pesawat parkir di Hang Nadim. Pihak bandara belum mengizinkan pesawat itu terbang hingga ada keputusan dari Direktorat Sertifikasi Kelayakan Udara (DSKU), Departemen Perhubungan. ”Saya sudah menginformasikan kejadian ini. Tim turun untuk mengecek penyebab gangguan mesin,” ujarnya.


Elfi menyebutkan, Boeing 737-200 mempunyai dua mesin, kiri dan kanan. Saat salah satu mesin mengalami kerusakan sehingga tak berfungsi, pesawat masih bisa terbang hingga melakukan pendaratan darurat. ”Pilot harus bisa mengambil keputusan dalam kondisi begini. Dalam pendidikan hal ini juga dilatih,” katanya.


Seluruh penumpang hingga kemarin siang, sudah bisa diterbangkan dengan pesawat lain. Sebagian besar dengan pesawat Lion Air dan sebagian lain dengan Mandala. Ada juga penumpang dengan pesawat lain.


Humas Sriwijaya Air, Ruth Hanna membantah pesawatnya mendarat darurat. Pendaratan, katanya sudah sesuai prosedur keselamatan penerbangan. Hanna menyebutkan, istilah pendaratan darurat merujuk pada kondisi di mana pesawat tak memiliki tenaga dan kehilangan kendali saat berada di udara. Akibatnya, pesawat mendarat di mana saja, seperti sungai, persawahan, atau permukiman. ”Ini masih bisa mendarat di bandara terdekat dengan mulus. Keputusan pilot sudah benar,” ujarnya.


Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut insiden pendaratan pesawat B737-200 Sriwijaya Air di Bandara Hang Nadim, Batam, dengan hanya satu mesin, bukan pendaratan darurat.


”Jangan salah persepsi. Itu tak termasuk ‘emergency landing’,” kata Juru Bicara KNKT JA Barata di Jakarta.
Meski hanya dengan hanya satu mesin dan bukan di tempat bandara yang dituju, kata Barata, hal itu tak termasuk dalam kategori pendaratan darurat karena terbukti pesawat itu mendarat dengan aman. Selain itu, katanya, kejadian tersebut dalam kategori insiden biasa, bukan insiden serius, apalagi kecelakaan. ”Jadi, KNKT tak perlu kirim investigator untuk menyelidiki guna mencari penyebabnya,” katanya.


Selain kejadian Sriwijaya Air yang mendarat darurat ini, ada juga Riau Aiarlines (RAL) yang penerbangan dari Jakarta tujuan Pekanbaru terpaksa dialihkan ke Batam, Ahad (22/3) pukul 19.30 WIB. Penerbangannya dialihkan karena cuaca buruk di Pekanbaru. Salah seorang penumpang pesawat adalah Wakil Gubernur Riau Mambang Mit.


Sekitar 40 menit di Hang Nadim, pesawat terbang ke Pekanbaru karena kondisi cuaca di sana sudah berangsur baik. ”Memang ada divert ke sini. Hanya 40 menit, pukul 20.10 WIB sudah terbang lagi,” kata Kepala Perwakilan RAL Batam, Kholil Wahyudi di Hang Nadim, kemarin. ***

Sabtu, 21 Maret 2009

Kampanye, Bisnis Pengerahan Massa Lesu


Musim kampanye terbuka telah tiba. Masing-masing partai politik mulai unjuk kekuatan. Mereka berusaha keras mengerahkan massa sebanyak-bayaknya. Jika perlu, mengorder massa dari penyedia jasa pengerahan massa. Lalu apakah bisnis ini masih dilirik oleh parpol peserta pemilu 2009 di Batam?
----------
”Anda butuh massa, hubungi nomor ini 0813XXXXXX”. ”Kalau membutuhkan massa, silahkan hubungi Lembaga Swadaya Masyarakat Singa Lapar, layanan terjamin”.

Begitulah bunyi kalimat spanduk dari sejumlah jasa pengerahan massa yang dipasang di sejumlah ruas jalan di Batam pada pemilu 2004 lalu. Bahkan, ada juga yang memberikan layanan pengerahan massa secara diam-diam. Bahkan, saat itu, tidak sulit mendatangkan massa yang banyak, asal ada uang, berapapun orang bisa didatangkan.

Tapi saat ini, meski sudah memasuki hari kedua kampanye terbuka, sejumlah penyedia jasa pengerahan massa, baik itu Organisasi Kepemudaan (OKP) atau LSM, masih sepi order.

Bahkan, beberapa diantaranya mengakui, kalau saat ini bisnis ini sedang lesu. Ada juga yang menilai masa keemasan jasa pengerahan massa sudah berlalu. ”Sekarang kalau pasang spanduk pun, siapa yang mau memesan,” kata Sekretaris MPC Pemuda Pancasila (PP) Kota Batam, Andi S Mukhtar, kemarin.

Ia menyebutkan, ada perbedaan yang mencolok kampanye pemilu 2004 dan pemilu 2009. Salah satunya, pengerahan massa yang menjadi pemandangan umum dalam pemilu 2004.
”Tahun 2004 yang namanya kampanye, identik dengan massa banyak di lapangan,” kata Andi, kemarin.

Saat itu, ia mengaku banyak diminta tolong oleh sejumlah parpol dan caleg untuk dicarikan massa. Mereka tak segan-segan mengiming-imingi dengan dana tertentu untuk mencarikan massa dalam jumlah yang besar. Massa itu tak hanya hadir pada kampanye satu partai, tapi juga ikut kampanye kalau ada parpol lain yang meminta.

Andi menilai, sistem suara terbanyak menyebabkan caleg fokus mensosialisasikan diri sendiri, ketimbang mempromosikan parpolnya. Caleg tersebut turun langsung ke masyarakat di daerah pemilihannya, dari pintu ke pintu. ”Kalau sekarang belum ada teman-teman pimpinan parpol dan caleg yang datang minta bantuan,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan Ketua Ikatan Pemuda Barelang (IPB) Mulyadi yang. Menurutnya, OKP dan LSM banyak yang bermunculan dalam pemilu 2004. Jasanya banyak digunakan parpol untuk mencari massa dalam kampanye.
”Tak cuma OKP dan LSM. Organisasi paguyuban juga banyak keciprat rezeki dalam pemilu 2004,” kata Mulyadi, kemarin sore.

Ia menyebutkan, tak bergairahnya kampanye terbuka juga disebabkan caleg menilai sistem ini tak efektif lagi. Mereka enggan jor-joran mengeluarkan dana. Pimpinan parpol juga fokus pada sosialisasi dirinya pribadi di daerah pemilihannya.
”Kampanye pemilu 2009 terpanjang di dunia, hampir sembilan bulan. Butuh dana besar. Jadi saat kampanye terbuka, kurang gregetnya. Amunisi caleg banyak yang hampir habis,” ujarnya.

Sama dengan Andi, Mulyadi juga mengaku belum ada parpol dan caleg yang datang kepadanya untuk meminta bantuan dalam mencari massa.
”Kalau ada, kita siap mendatangkan. tapi sekarang belum ada tanda-tanda,” ujarnya.
Ia menilai, kampanye terbuka dalam pemilu 2004 berdampak positif karena membuka lapangan pekerjaan baru. Mereka yang tak punya pekerjaan atau pengangguran bisa diajak meramaikan kampanye. Tukang ojek atau pun pekerja sektor informal lain bisa mencari penghasilan tambahan.

Abdullah Yusuf, Ketua Ikatan Pemuda Muslim Flores juga mengakui kampanye pemilu kali ini kehilangan greget. Sebelumnya parpol berlomba untuk kampanye terbuka. Banyak terjadi pelanggaran karena parpol kampanye di luar yang dijadwalkan.
”Sekarang ada parpol yang diberikan kesempatan kampanye, malah menolak. Mereka tak berkampanye terbuka,” kata Sekretaris Gerakan Pemuda Kabah (GPK) Kota Batam ini.

Ditanya pengalamannya saat pemilu 2004, Abdullah menyebutkan, saat itu ia sangat sibuk karena banyak menolong teman-temannya yang aktif di parpol dan jadi caleg.
”Partai ini minta massa sekian, partai lain juga minta. Rezeki juga mengalir,” ujarnya.
Rencananya, ia ikut berkampanye bersama anggota saat giliran PPP melakukan kampanye terbuka. Itu pun kapasitasnya berbeda. Ia hadir sebagai Sekretaris GPK Batam.
“GPK kan underbouw PPP. Kewajiban kami memenangkan PPP.” kata Yusuf.

Baik Andi Mukhtar, Mulyadi dan Abdullah Yusuf juga punya pendapat yang sama. Dengan sistem suara terbanyak, masyarakat banyak yang terbantu. Caleg langsung datang ke masyarakat. Tak hanya manusia yang dieksploitasi tenaganya untuk datang kampanye dengan biaya tertentu.***

Napak Tilas Jejak Tan Malaka


Pada pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, kami bersiap berangkat mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar 80 kilometer ke arah utara Bukittinggi.

Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray, seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.

Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang akan mengunjungi rumah Tan Malaka, di antaranya sejarawan Mestika Zed, mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat 21 Februari lalu.

Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.

"Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar," katanya.

Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi.

Dulunya sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka.

Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan nilai baik, karena dia anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.

Harry A. Poeze turun dan memeriksa dinding ruang guru mencari-cari sesuatu.

"Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di tempat ini," kata Harry.

Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di dinding yang menerangkan pendirian Kweek School tahun 1873-1908. Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di balik lemari.

Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau geleng-geleng kepala.

"Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita," sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.

Asrama Tan Malaka Menjadi Asrama Polisi

Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi Muslim mengatakan kepada Harry Poeze, ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya. Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu, dan siswanya membuat laporan berdasarkan bahan di internet.

"Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi Sekolah Tan Malaka," kata Harry.

Dari informasi Kepala Sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi asrama polisi di belakang sekolah.

"Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa," kata Harry saat kami keluar dari gerbang sekolah.

Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil memakan kerupuk sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula aren.

"Rasanya mirip salah satu kue di Belanda," kata pencinta masakan Indonesia ini.

Harry beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.

"Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka," katanya.

Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung, pada 1976 ia datang bersama istrinyam Henny Poeze untuk memulai penelitiannya ke kampung Tan Malaka.

"Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang, kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia, akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang," kenang Harry.

Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan keponakan Tan Malaka yang menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh itu.

Jejak Tan Malaka di 2Benua

"Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi 2 benua dan 11 negara untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana," kata Harry memberi alasan ketertarikannya kepada Tan Malaka.

Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka. Termasuk 10 tahun untuk menulis buku Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 yang diluncurkan Juli tahun lalu dalam bahasa Belanda.

Sedangkan dalam bahasa Indonesia saat ini masih diterjemahkan dibagi dalam 6 jilid. Jilid pertama menurut Harry direncanakan akan terbit tahun ini.

Dari Payakumbuh, kami melewati Jalan Tan Malaka, salah satu jalan utama di Kota Payakumbuh arah ke luar kota. Jalan raya ini terbentang sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan dengan aspal mulus ini akan melewati rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.

Keluar dari Kota Payakumbuh, pemandangan pedalaman Ranah Minang yang asri mulai terhampar di depan mata. Roger Tol tak berhenti berdecak kagum. Pemandangan yang kami lewati memang amat menawan, lembah dengan sawah yang menghijau terbentang di kaki bukit, dipagari pohon-pohon kelapa. Di belakangnya berlapis-lapis bukit hijau dan biru menjadi latar yang indah ditambah dengan langit berawan putih di atasnya.

"Ini seperti sorga, kenapa Tan Malaka meninggalkan tempat seindah ini?" kata Roger Tol kepada Harry.

Harry tersenyum memandang ke luar jendela. "Dia kan harus pergi merantau," jawabnya.

Sampai di Pandan Gadang kami disambut keluarga besar Tan Malaka yang mengenakan pakaian adat. Henri, seorang keluarga keturunan Tan Malaka dari garis ibu kini mewarisi gelar Datuk Tan Malaka yang menambah panjang namanya menjadi Henri Datuk Tan Malaka. Ia mengenakan pakaian datuk kuning terang.

Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari jalan raya. Ada rumah adat minang bergonjong dan tua. Di bagian depan teras tertulis ‘Tan Malaka'. Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis keturunan materilineal di Minangkabau.

Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Di depan rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, dan berair jernih. Di depan rumah menjulang bukit yang hijau ditumbuhi pohon dan perdu.

Acara Tanpa Bantuan Pemerintah

Untuk memperingati kematian Tan Malaka, keluarga besarnya menggelar tahlilan selama satu jam. Keluarga besar Tan Malaka, KITLV dan Pusbitdem (Pusat Studi Penerbit dan Pustaka Demokrasi) menggelar acara ini tanpa bantuan pemerintah. Sehari sebelumnya, mereka juga menggelar seminar di Bukittinggi tentang Tan Malaka.

"Kita mencoba menanam benih, mudah-mudahan ini tumbuh besar," kata Asmun A. Sjueib, ketua panitia.

Diawali dengan pantun petatah petitih Minangkabau dan irama talempong, museum sederhana itu diresmikan oleh Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Magdalia Alfian.

Enam bulan lalu rumah ini masih dihuni Indra Ibnur Ikatama dan keluarganya. Indra adalah satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara perempuan dari ibu Tan Malaka.

Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki, Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin. Sinah hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit dari Janah.

Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri. Atapnya seng bergonjong 5 dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga kayu.

"Rumah ini dibangun sejak 1826, namun Tan Malaka lahir di rumah surau yang kini sudah menjadi sawah, saat dia diangkat menjadi datuk, baru dibawa ke rumah ini," kata Ani Zarni salah seorang keluarga Tan Malaka.

Harry Poeze disambut bak teman lama keluarga. Semua keluarga Tan Malaka sudah mengenalnya. Ia menyerahkan bukunya yang beratnya 5 kilogram itu untuk koleksi pustaka.

"Pak Harry sering ke rumah saya di Jakarta, dan tiap kali makan masakan Minang selalu minta catatkan resepnya,resep rendang, resep pangek ikan, pokoknya apa saja yang baru saya disuruh catat," kata Anna Yuliar, adik Ani Zarni.

Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ruang tamu dan ruang keluarga terlihat sudah menyatu tanpa sekat. Di dalamnya kini ada lemari kaca yang menyimpan buku-buku Tan Malaka dan buku-buku yang membahas Tan Malaka. Koleksi lainnya adalah baju Tan Malaka saat menjadi datuk, piringan hitam dan pemutarnya, tempat tidur dan foto-foto Tan Malaka.

Menurut Ani Zarni, pada masa pemberontakan PRRI, rumah gadang ini pernah menjadi dapur umum untuk pejuang PRRI.

"Saya masih ingat saat itu berumur 10 tahun, kami lari ke bukit dan saya dipaksa menembakkan senapan dari atas bukit," kata Ani Zarni.

Buku-bukunya Dibakar

Dimasa itulah buku-buku dan barang pribadi Tan Malaka terpaksa banyak yang dibakar, untuk menghilangkan jejak agar tidak disangka pemberontak.

Untuk memastikan kematian Tan Malaka, keluarga Tan Malaka sudah sepenuhnya menyerahkannya kepada Harry Poeze untuk mengurusnya.

"Tahun lalu saya sudah tanyakan tentang kemungkinan pembongkaran kuburan yang kita duga kuburan Tan Malaka, dan pihak keluarga sudah setuju, Menteri membentuk tim, tapi sampai kini masih belum ada penyelesaian," kata Harry.

Sejarawan Mestika Zed yang ikut dalam rombongan, mengaku terkesan melihat rumah Tan Malaka karena ini kedatangannya yang pertama.

"Saya termasuk orang yang kelam jalan ke sini, dan tempat ini sangat indah, sebuah lembah yang punya ruangan yang sangat sehat dan lingkungan yang jarang didapat, saya terkesan dengan lingkungan ini, tapi juga punya korelasi dengan si tokoh dalam arti memberikan inspirasi untuk seorang tokoh, saya kira lingkungan seperti ini akan melahirkan generasi yang sehat karena lingkungannya enak," katanya.

Lewat tengah hari kami pulang. Harry mengaku senang sekali karena rumah Tan Malaka kini sudah dijadikan museum.

"Berarti ada kemajuan dan lebih mudah mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan Tan Malaka," katanya.

Dalam perjalanan pulang beberapa kali ia minta berhenti dan memotret kampung halaman Tan Malaka yang indah itu. (febrianti/padangkini)

Kamis, 19 Maret 2009

Koran Besar Amerika Bertumbangan

Jika krisis ekonomi berlangsung lebih lama lagi, akankah ada lagi koran yang memberitakan tentang hal itu?

Industri koran AS tengah dilanda resesi. Satu persatu koran di negeri Paman Sam itu mulai berjatuhan. koran The Rocky Mountain News (150) menyatakan diri tutup, dan edisi terakhirnya pada Jumat (27/2). Dan kini giliran koran besar dan tua lainnya, Seattle Post-Intelligencer yang yang berdiri sejak 1865, menjadikan edisi Selasa (17/3) menjadi terbitan edisi terakhirnya. ”Malam ini kami akan menidurkan koran cetak itu untuk selamanya,” ujar Editor dan Penerbit Roger Oglesby kepada staffnya Senin (16/3) pagi.

Koran Post Intelligencer, yang dimiliki oleh The Hearst Corp., Senin (16/3), telah memberitakan kepada 117.600 pembaca setianya, akan tutup pada Selasa itu. Penutupan itu tidak terelakkan. Ini karena sejak tahun lalu hingga 9 Januari 2009, Hearst mengaku mengalami kerugian sebesar USD 14 juta. Dia pun mengisyaratkan akan menutup Post-Intelligencer jika tidak ada pembeli dalam waktu 60 hari. Pada hari yang ditetapkan, target yang diinginkan tidak tercapai. Hearst pun menepati janji. Koran P-I terbitan Selasa (17/3) menjadi edisi cetak terakhir.

Hearst juga mengatakan berencana menutup korannya yang lain, San Francisco Chronicle. Chronicle telah mengalami kerugian lebih dari USD 50 juta pada 2008, dan memasuki 2009 semakin parah. Sirkulasi turun 7 persen dalam enam bulan, pada 23 september 2008. Selain itu pendapat iklan pun turun. Pihak perusahaan telah memberhentikan saparo staf editorialnya. Namun jika cara itu masih belum cukup mengembalikan keuntungan perusahaan, San Francisco Chronicle akan tutup.

Pada hari yang sama dengan tutupnya P-I, koran The Tucson Citizen mengumumkan pihaknya akan berhenti menerbtikan koran jika tidak bisa menemukan pembeli hingga 21 Maret mendatang.

Nama-nama Besar

Tidak hanya menutup koran Rocky Mopuntain News dan Seattle Post-Intelligencer, serta mengancam San Francisco Chronicle, ressi juga telah mengancam nama koran terbesar di industri AS. New York Times tengah berjuang membayar hutang sebesar USD 400 juta. Tahun lalu ia telah menggadaikan markas barunya yang dibangun pada 2007 untuk mendapatkan uang segar.

Tribune Company yang memiliki Chicago Tribune, Los Angeles Times, Baltimore Sun dan nama lainnya, mendaftarkan diri bangkrut pada Desember lalu. Dan seirng korannya masih yang tetap terbit, dampak dari pendaftaran itu tampaknya mengarah pada pembenahan.

Tiga perusahaan koran lainnya juga telah mendaftar seabgai perusahaan yang mengalami bangkrut beberapa bulan terakhir: the Star Tribune Holding Corporation (yang memiliki Minneapolis Star-Tribune), Journal Register Company (yang memiliki New Haven Register dan nama lainnya di wilayah timur laut), dan Philadelphia Newspapers LLC (yang memiliki dua koran papan atas di Philadelphia, the Inquirer dan the Daily News).

Meskipun beberapa perusahaan melakukan perbaikan lebih baik dari yang lainnya, dan beberapa perusahaan (seprti Tribune Co) mengambil utang lebih besar dari yang dinasehatkan, kebangkrutan dan penutupan sangat mungkin terjadi di tengah depresi industri yang meluas. ***

Rabu, 18 Maret 2009

Trauma Suci Korban Galodo Malalak


Menyebut nama daerah Malalak, Agam (Sumbar), yang terlintas di benak masyarakat Sumatra Barat saat ini adalah kejadian galodo atau longsor yang menelan korban enam warga setempat. Hal itu dinilai wajar karena peristiwa Malalak tidak hanya menjadi konsumsi media lokal, tapi juga nasional. Hampir tidak ada orang yang tak tahu tragedi malam mengenaskan 7 November 2008 itu.
Adalah Suci Muharni, 15, salah satu korban selamat yang hingga kini masih trauma. Walaupun luka-luka di sekujur tubuhnya telah hilang, tapi dia tidak bisa melupakan tragedi malam naas tersebut. Bukan saja karena tubuhnya babak belur dihempaskan air bercampur lumpur, lebih dari itu dia harus kehilangan kedua orangtuanya, Nadirsyam dan Afnida serta kedua adiknya, Syahrul Syafar dan Mediana Sepriani. Bahkan, jasad ayahnya sampai kini tidak pernah diketemukan. Terkubur bersama dengan hanyutan lumpur yang dibawa air bah yang menghondoh Malalak di Batang Mangoe.

Suci masih ingat, malam itu selepas magrib dia beranjak ke dapur. Ada sesuatu yang akan dikerjakannya di sana. Belum lama dia di sana, terdengar suara gemuruh dan dia dihempaskan oleh air bah yang datang begitu tiba-tiba. Tubuh kecilnya dihanyutkan ke hilir sungai, terombang ambing di atas bebatuan yang ada di Batang Mangoe. Sakitnya jelas tidak terperikan. Suci hanya bisa beristighfar melafazkan kalimat-kalimat Allah. Sampai akhirnya dia diselamatkan dengan pertolongan yang tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT.
“Kalau tidak salah ada dua orang yang menyelamatkan Suci. Tapi, Suci tidak ingat siapa orangnya,” ceritanya kepada Singgalang yang mengunjungi Minggu (1/3) di Aur Kuning, tempat dia berdomisili saat ini.
Hampir satu bulan dia dirawat di Rumah Sakit Dr. Ahmad Mochtar demi menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Kini, luka itu telah sembuh. Tapi, traumanya tidak hilang, seperti sedikit bekas luka yang tersisa di wajahnya yang imut.

Bantuan
Tragedi Malalak menyisakan luka dan trauma yang tidak kunjung hilang di hati gadis kecil kelahiran 27 Juni 1993 itu. Selain membuatnya menjadi yatim piatu bersama adik bungsunya Muhammad Syahrizal, seluruh kenangan indahnya bersama keluarganya juga turut hilang ditelan ganasnya Batang Mangoe di Kenagarian Malalak Timur, Kecamatan Malalak.
Kini, untuk mengenang wajah kedua orangtua dan dua adiknya yang tewas, Suci hanya bisa mengingat-ingat karena foto keluarga hanyut tersapu galodo bersamaan dengan rumahnya yang hilang ditelan air bah.
“Ci, ndak niyo tingga di kampuang (saya tidak mau tinggal di kampung),” lirihnya terbata.
Kepedihan dan kesedihan pasca musibah masih sangat jelas terlihat di wajahnya. Saat berbincang di pagi jelang siang itu, dia selalu berusaha menyembunyikannya dengan menatap lantai dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Bola matanya yang bening terlihat berkaca-kaca saat menceritakan traumanya akan galodo Malalak. Makanya, dia tidak hendak kembali menetap di kampung halaman. Bukan karena sekolahnya yang sudah dipindahkan dari SMP Malalak ke SMP Padang Luar, tapi karena dia merasa lebih nyaman tinggal di Bukittinggi. Kalau lah ada yang mau membantunya membuat rumah di kota wisata itu, betapa dia akan sangat berterimakasih.

Saat ini, dia memang sudah ditampung di rumah bakonya, keluarga Karnida yang sangat menyayangi dia dan adiknya. Tapi alangkah indahnya menetap di rumah sendiri. Terpenting lagi, dengan tinggal di kota wisata itu, dia bisa melupakan kenangan pahit di malam kelabu.

Selain masalah ketersediaan lahan untuk membuat rumah tempat tinggalnya, Suci juga terkendala dana untuk melanjutkan pendidikannya dan menyekolahkan adiknya yang harus segera masuk Taman Kanak-Kanak (TK). Untuk pendidikannya saat ini di SMP Padang Luar, dia memang bisa berlega hati karena biaya ditanggung Dinas Pendidikan Kabupaten Agam. Hanya untuk masuk ke SLTA selepas lulus UN yang sebentar lagi dimulai, dia tidak tahu harus ke mana mengadukannya. Karena, dia tentu tidak bisa bergantung ke Karnida dan keluarga sepenuhnya, meski keluarga ini sangat membantunya. Makanya saat ditanya cita-citanya, gadis pendiam ini tidak bisa memberikan jawabannya. “Belum tahu,” ujarnya. (Singgalang)

Konflik Mega-SBY Menahun


Presiden SBY kembali menegaskan kesediaannya mencairkan hubungan dengan Megawati yang telah membeku sejak 2004.
“Andaikata, andaikata, Ibu Mega bilang besok saya mau bertemu dengan SBY, maka saya pun besok juga akan mau bertemu dengan beliau. Banyak hal yang perlu diklarifikasi antara saya dan beliau,” ujar SBY dalam acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/)
PDIP, partai yang dipimpin Mega, sendiri masih enggan melayani SBY. “Kan tidak ada masalah yang mendesak yang mengharuskan kedua beliau untuk ketemu,” ujar Ketua PDIP Tjahjo Kumolo.
Bagaimana sebenarnya konflik ini bermula? Untuk kilas balik, ada baiknya kita buka buku laris karya Prof Dr Tjipta Lesmana MA., berjudul Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
Di halaman 303, Prof Tjipta menulis, jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres.
Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya, dia siap dicapreskan PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.
Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab, ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.
Memasuki 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Sepeti anak kecil
Megawati dan kubunya rupanya menaruh curiga pada manuver SBY. “Sumber penulis menuturkan, yang membuat Megawati kesal, bercampur galau, adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dnegan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet,” tulis Prof Tjipta di halaman 305.
Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai “seperti anak kecil”. “Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden, dia mau mencalonkan diri sebagai capres,” komentarnya.
Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 11 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko Polkam. Dua hari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.
“SBY dianggap pengkhianat. Menikam dia (Mega-red) dari belakang! Enggak gentle,” ucap Roy Janis (halaman 289). Roy adalah tangan kanan Mega yang kini berseberangan dengan Mega dan mendirikan PDP.
“SBY dianggap menelikung dia. Mengkhianati dia,” kata Laksamana Sukardi, orang kepercayaan Mega yang kini satu gerbong dengan Roy.
Menurut Roy, kegusaran dan kebencian Mega terhadap SBY bahkan diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY), saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang!” begitu kata Mega di rapat pimpinan DPP PDIP sebagaimana ditirukan Roy.
Alhasil, saat SBY membacakan sumpah presiden pada 20 Oktober 2004, Mega memilih berkebun dan membaca buku di kediamannya di Kebagusan, Jaksel, tak memenuhi undangan pengambilan sumpah.

Sengaja
Menurut Prof Dr Tjipta Lesmana, SBY adalah politisi yang lihai. Bahkan dia menilai, ‘konflik’ SBY dengan Mega semata-mata konflik yang direkayasa sendiri oleh SBY.
Di halaman 307 pengamat politik ini menilai, konflik SBY-Mega yang dimulai pada 2004, sengaja dipelihara, kemudian di-blow up pada timing yang tepat dengan memanfaatkan media massa. Tujuannya untuk menarik simpati publik.
Kubu Megawati, tanpa sadar, digiring masuk perangkap, karena tidak jeli melihat permainan politik SBY yang cantik ini. Hal ini terutama tercermin dari ucapan-ucapan yang keluar dari kubu Megawati.
Dalam konflik Mega-SBY, SBY berhasil menciptakan opini publik, ia telah dizalimi oleh Mega; Mega dipojokkan sebagai pemimpin yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap pembantunya, SBY. “Dan SBY pun berhasil gemilang “mengibuli” media massa, sedemikian rupa akhirnya mayoritas media massa berpihak kepada SBY,” tulis Prof Tjipta seperti ditulis detikcom.
Akibat dari strategi ini, begitu SBY terjun berkampanye, sambutan massa pun gegap gempita. “Rakyat seolah-olah menyambut seorang pahlawan yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter bernama Megawati Soekarnoputri!” tulis Prof Tjipta.
Menurut Prof Tjipta, bukti SBY memelihara konfliknya dengan Megawati hingga saat-saat terakhir tampak dari pernyataan-pernyataan dan dua pucuk surat yang dikirimkan SBY kepada Presiden Megawati. Surat pengunduran dirinya sengaja dikirim pada saat yang kritis. Dan hanya 2 hari setelah mundur, SBY kampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat, lalu keliling Nusantara untuk kampanye.
“Apakah kampanye di Banyuwangi pada 13 Maret (2004) hanya suatu koinsidensi? Mustahil! Jadwal kampanye itu pasti sudah dibuat jauh hari sebelumnya, ketika SBY masih “disibukkan” oleh perseteruannya dengan Megawati, ketika SBY masih beretorika “untuk mengkonsultasikan dan menemukan solusi sebetulnya pelaksanaan tugas saya sebagai Menko Polkam” (surat SBY pada Mega, 9 Maret-red)...” tulis Prof Tjipta di halaman 308.

Selanjutnya Prof Tjipta menulis:
“In restrospect, wajar kalau Megawati benci, bahkan benci setengah mati pada SBY. In restrospect pula, Megawati kemudian pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah dijebak oleh SBY. Itulah sebabnya kenapa SBY tidak pernah mau terbuka ketika ditanya kesiapannya mencalonkan diri dalam Pemilu 2004. Ia memilih timing yang tepat untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya, yaitu ketika opini publik sudah memvonis Megawati sebagai presiden yang telah memperlakukan salah satu menterinya, Menko Polkam, secara tidak adil dan sewenang-wenang yaitu me-nonjob-kan SBY selama berbulan-bulan.”

Seharusnya Mega Tahu
Konflik mereda setelah SBY mundur sebagai Menko Polkam dan menjadi capres dari Partai Demokrat (PD) pada 11 Maret 2004. SBY lalu maju Pilpres dan menjadi pemenang. Sedangkan Megawati sakit hati dan merasa ditikam dari belakang karena SBY tidak terbuka padanya maju sebagai capres semasa menjadi anak buahnya.
Padahal seharusnya Megawati sadar, SBY mengincar kursi presiden sejak 2001, setelah kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi wapres di DPR. Kala itu Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Hamzah Haz-lah yang terpilih sebagai wapres.
Kalah dalam pertarungan itu, SBY berinisiatif mendirikan PD. Sebuah kendaraan politik untuk mengantarkan SBY menduduki tampuk kekuasaan.
“Waktu itu kami berdiskusi, ikut partai besar atau membuat partai baru. Kita putuskan untuk membentuk partai sendiri. Kemudian beliau (SBY) bilang ‘Saya berikan nama Partai Demokrat,’ ujar salah satu pendiri PD, Thonty Bahaudin, kepada detikcom, Senin (16/3)
Menurut Thonty yang telah keluar dari PD ini, pertemuan tersebut terjadi pada 12 Agustus 2001 malam di Hotel Hilton (kini The Sultan), Jakarta Pusat (Jakpus). Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan yang menjadi sejarah dimulainya kejayaan PD itu.
Mereka di antaranya adalah SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, Thonty Bahaudin, Adhyaksa Dault, Kolonel Kurdhi Musthofa, M Yasin (Letjen M Yasin, keluar dari PD dan mendirikan Pakar Pangan-red), dan Ventje Rumangkang (keluar dari PD dan mendirikan Partai Barnas-red). PD diresmikan pada 12 September 2001.
“Niat awalnya memang untuk mengantarkan SBY menjadi presiden. Ibu Mega seharusnya sudah sadar waktu itu, ada apa ini mendirikan partai?” jelas Thonty.
Keinginan SBY untuk mencapreskan diri, lanjut Thonty, sudah matang. Jikalau pun SBY terkesan diam-diam dan belum mau terbuka, itu merupakan strategi pria asal Pacitan, Jawa Timur, ini.
SBY menunggu saat yang tepat. Dan momentum pun tiba ketika terjadi perseteruan politik yang cukup emosional antara SBY dan Megawati. SBY kemudian tampil ke publik sebagai ‘pembantu’ presiden yang terpinggirkan.
“Itulah sikap politisi yang sesungguhnya. politik itu kan nggak hitam putih. Dan Ibu Mega kena taktik politik SBY. Beliau (Megawati) kurang waspada,” kata Thonty.
Kalangan elit PD, lanjutnya, juga sudah tidak sabar menanti SBY hengkang dari kursi Menko Polkam. Setelah SBY Mundur, tekad untuk memenangkan SBY di ajang pilpres makin membesar. Seluruh elemen PD berjuang mati-matian untuk menjual SBY.
“Saya menciptakan slogan SBY (Selamatkan Bangsa yang Besar ini). Kita sebut SBY sebagai pendiri Partai Demokrat, dan sebagainya,"kata Thonty.

Kronologi Konflik SBY-Mega
BENIH-benih konflik Mega-SBY bermula pada 2003, saat muncul isu SBY akan maju sebagai capres. Setelah itu perseteruan mengerucut hingga akhirnya Mega enggan bertemu atau bicara dengan eks anak buahnya itu.
Berikut ini kronologi konflik keduanya, disarikan dari buku Prof Tjipta Lesmana Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa:

Akhir 2003: Santer beredar isu Menko Polkam SBY akan maju dalam Pilpres 2004. SBY sering muncul dalam iklan di TV untuk sosialisasi pemilu. Karena banyak protes, KPU menghentikan tayangan itu. Kubu Mega mencium ‘aroma politik’ SBY dan mengucilkannya.

1 Maret 2004: Sesmenko Polkam Sudi Silalahi menyatakan, SBY merasa dikucilkan oleh Presiden Megawati dengan tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Istana menjawab, saat itu SBY ada di Beijing. ‘Perang mulut’ kedua kubu pun dimulai. Taufiq Kiemas menyebut SBY ‘jenderal kok kayak anak kecil’.

9 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, isinya konsultasi tugasnya sebagai Menko Polkam. Mega tak membalasnya.

11 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, mengundurkan diri sebagai Menko Polkam.

13 Maret 2004: SBY berkampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat.

16 September 2004: ‘Debat capres’ di televisi. Mega berpesan pada panitia bahwa tidak ada acara jabat tangan antar sesama capres.

5 Oktober 2004: Hari TNI ke-59, Presiden Megawati berpesan agar semua pihak legowo menerima hasil pilpres. Mega meneteskan air mata.

Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa pemenang pilpres adalah SBY. SBY hadir dalam HUT TNI itu dan menjadi ‘bintang lapangan’. Tempat duduk SBY dan Mega diatur sedemikian rupa sehingga keduanya tidak berjumpa.

20 Oktober 2004: SBY membacakan sumpah presiden. Mega yang diundang menolak datang dengan alasan agar khusyuk mendoakan acara SBY itu berjalan lancar. Faktanya, Mega memilih berkebun dan membaca buku di rumahnya di Kebagusan, Jaksel.

20 Oktober 2004 sore: Mega mengundang warga sekitar dan kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan. “Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!” pidato Mega kala itu.

Saat Mega bertanya apakah kader PDIP siap merebut kembali ‘kursi’ yang lepas itu, hadirin menjawab, “Siaaap!”

Tahun 2005: Indonesia menjadi tuan rumah Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika. Presiden SBY mengutus Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk menyampaikan undangan pada Mega, sebab Purnomo dinilai dekat dengan Mega.
Mega menolak menerima Purnomo.(Harian Singgalang)