SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Sabtu, 28 Februari 2009

Sempat Salat, Menangis saat Pesawat Selamat

Keberhasilan pendaratan Lion Air MD 90 di Bandara Hang Nadim, Selasa (23/2) malam, selain karena kehebatan pilot, juga tak tak terlepas dari kepiawaian petugas Air Traffic Control (ATC). Pujian pun mengalir pada Chief ATC Hang Nadim, Indah Irwansyah bersama empat stafnya yang memandu pilot secara sempurna.

Pertama kali pilot Lion Air, Capt Anwar Haryanto menghubungi petugas ATC sekitar pukul 17.10 WIB. Pilot minta dipandu, pesawat akan mendarat pukul 17.35 WIB. Saat itu kendali ATC dipegang Didi Danu Saputra. Ia didampingi dua petugas ATC yang lain. Chief ATC, Indah Irwansyah sudah pulang ke rumah. Tak ada yang luar biasa karena pilot mengabarkan kondisi pesawat dalam kondisi bagus.


Irwan yang belum lama pulang ke rumah dan baru saja selesai salat Ashar, kaget saat ditelepon stafnya Didi Danu Saputra, sekitar pukul 17.20 WIB. Didi mengabarkan pesawat Lion mengalami masalah, roda depannya tak bisa keluar. Dari rumahnya di komplek Perumahan Bandara yang berjarak cukup dekat, ia langsung meluncur ke bandara.


Sampai di tower ATC, ia melihat Didi memandu pesawat. Ia tak langsung mengambil alih, tapi mempelajari dulu permasalahan yang terjadi. Sekitar 10 menit berada di tower, barulah ia mengambil alih kendali. Ia membagi tugas dengan empat stafnya. Satu orang menerima telepon dari luar, satu orang jadi asisten dalam memandu pesawat, satu orang mencatat kronologis setiap peristiwa yang terjadi dan satu orang lagi memantau landasan pacu.


Mulailah ia berkomunikasi dengan pilot. Langkah pertama yang dilakukan menanyakan kepada pilot kondisi pesawat. Pilot mencoba mengeluarkan roda depan dan dua roda belakang. Irwan diminta melihat dari jauh apakah usahanya berhasil atau tidak. Irwan mengambil teropong. Usaha pun dilakukan pilot. Nyatanya hanya ban belakang yang keluar. Ban depan tak muncul. Irwan kemudian memberitahukan kondisi ini pada pilot.


Irwan menyarankan agar pilot melakukan holding (berputar di udara) sesuai prosedur penerbangan. Pilot menyetujui dan melakukan holding. Saat berputar, Irwan beberapa kali bertanya pada pilot apakah sudah melakukan semua prosedur penerbangan.


”Saya bilang, capten apa semua prosedur sudah dilakukan. Dia bilang sudah, tapi roda depan tak keluar. Suara pilotnya terdengar sangat jelas, dia tak gugup,” kata Irwan di bandara, kemarin siang.


Kata Irwan, ia dan empat stafnya yang tegang selama pesawat berputar delapan kali di atas udara Hang Nadim. Mereka mencemaskan langkah yang dilakukan pilot. Penumpang begitu banyak dan kondisi pesawat rodanya tak bisa keluar. Mereka juga yakin keputusan yang diambil pilot juga menentukan masa depan karir Irwan dan empat stafnya.


Selama hampir dua berputar-putar di udara, katanya tak sekali pun terdengar suara pilot gugup. Pilot terus mengabarkan kondisi pesawat, termasuk bahan bakar. Petugas ATC meminta bahan bakar terus dibakar sampai tinggal 2.000 pound sebagai persyaratan untuk melakukan pendaratan darurat.


Saat pesawat berputar di udara, Irwan mendapat telepon manajemen Lion Air langsung oleh Direktur Operasi kapten Daniel. Ia meminta agar ponsel Irwan terus dihidupkan agar dia bisa mendengar komunikasi antara pilot dan petugas ATC. ”Hanya kami yang bisa berkomunisi dengan pilot. Direktur operasinya cemas sekali,” ujarnya.


Dalam situasi genting, Irwan mengaku masih menyempatkan diri salat Magrib, sekitar pukul 18.45 WIB. Sebelum salat, anggotanya diminta tak meninggalkan lokasi. Ia salat di dalam tower. Usai salat, ia berdoa agar pendaratan Lion Air berjalan lancar dalam lindungan Allah.


Kemudian ia kembali memegang kendali panduan. Pukul 19.06 WIB, pilot memberitahukan dia memutuskan pendaratan darurat. Pihak ATC menyetujui. Tapi sebelumnya, petugas ATC berkoordinasi dengan pimpinan bandara agar disiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Langsung disiapkan mobil pemadam kebakaran dan fasilitas lain.
Setelah persiapan lengkap, Irwan menghubungi pilot, pendaratan sudah bisa dilakukan. Detik-detik menjelang pesawat mendarat, katanya begitu menegangkan. Saat pesawat mulai terbang rendah, Irwan mulai berhitung dari menit ke-10 sampai detik terakhir saat roda tengah menyentuh landasan pacu.


”Saya teriak keras-keras 10 menit, delapan menit, empat menit, sampai detik terakhir. Saat ban menyentuh landasan pacu, saya pencet bel sirine tower keras-keras,” kata Irwan.
Begitu menyentuh landasan pacu, pesawat masih melaju dan berhenti sampai jarak 100 meter. Setelah itu mesinnya mati. Hanya sedikit percikan api karena petugas PBK menyemprotkan foam (busa racun api) ke badan pesawat. Dari teropong dia bisa melihat kondisi pesawat tak ada masalah.


Ketika pesawat sudah berhenti, dilihatnya pilot membuka pintu pesawat. Dia bertanya pada salah seorang petugas PBK. ”Ada apinya ngak?,” kata pilot. Petugas PBK menjawab tak ada, kemudian pilot duduk kembali di tempat duduknya. Tak lama kemudian, pilot, awak pesawat dan penumpang turun.


”Banyak orang memeluk pilot yang jadi pahlawan. Dia juga dibopong ramai-ramai,” ujarnya.
Sementara, di tower Irwan dan empat stafnya juga bahagia. Mereka meneriakkan takbir beberapa kali. Irwan menangis, anak buahnya juga ada yang menangis. Pasalnya mereka telah melewati momen dramatis yang sangat langka.


”Ini pengalaman paling membekas sepanjang karir saya sebagai petugas ATC,” kata bapak tiga anak ini.


Begitu pendaratan darurat sukses, pujian mengalir pada pilot dan petugas ATC. Tak terkecuali dilontarkan Kepala Bandara Hang Nadim Razali Abubakar. Ia menyebut petugas ATC yang memandu pesawat ATC berpengalaman, yakni Indah Irwansyah dan Didi Dani Saputra.


”Pilotnya hebat. Petugas ATC juga luar biasa. Mereka yang ditugaskan ATC senior,” kata Razali.
Setelah berhasil mengawal pendaratan yang heroik itu, Razali dihadapkan pada permasalahan lain. Ia harus segera menutup landasan dan mengevakuasi badan pesawat ke tepi landasan agar tidak menganggu penerbangan sekaligus menghilangkan trauma bagi para calon penumpang.
“Evakuasi harus berlangsung cepat supaya aktivitas penerbangan bisa kembali normal. Kalau tidak, berapa pesawat yang gagal mendarat dan berangkat, berapa penumpang yang dirugikan, berapa kehilangan pemasukan,” tuturnya.


Dilema itu membuat Razali harus mengambil keputusan berani. Dengan posisi pesawat yang masih tergolek di landasan, ia harus membuka kembali landas pacu supaya mekanik Lion bisa segera tiba di Hang Nadim sebelum hari terang. Malam itu juga, sekitar pukul 23.30 WIB, Razali memberikan izin Lion Air terbang dari Jakarta menuju Batam.


Pukul 00.30 WIB, pesawat yang ditunggu-tunggu tiba di Hang Nadim. Dengan sisa landasan yang cuma 1.800 meter, keputusan Razali itu berisiko menimbulkan over shot (pesawat kebablasan) dan mengalami kecelakaan. “Kalau sampai kecelakaan, mungkin saya tidak ada di sini, tapi di penjara,” ujarnya.


Pendaratan Lion Air yang mengakut mekanik dan petuasg dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu ternyata berjalan mulus. Razali bisa bernafas lega. Apalagi proses evakuasi yang dilakukan dini hari tersebut juga berjalan mulus, tanpa kendala berarti.


Bagi ini Hang Nadim, peristiwa seperti itu bukan kali pertama. 10 Maret 2008, Adam Air tergelincir di sana. Meski tak ada korban jiwa, namun peristiwa itu memincu dibubarkannya managemen Adam Skyconnection Airlines. Razali berharap, peristiwa serupa tak terulang lagi di Batam.
”Tak ada yang bisa menjamin kecelakaan serupa tidak terulang. Tapi paling tidak, akibat buruk yang ditimbulkan dari insiden itu bisa kita atasi dengan cepat dan tepat. Mudah-mudahan tak ada lagi peristiwa seperti ini. Kita berdoa saja,” tukasnya.


Kasus Lion Air ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Irwan. Sudah 25 tahun, tepatnya sejak bulan September 1984 ia sudah bertugas di Batam. Dalam rentang waktu yang panjang itu, baru dua kali kasus kecelakaan. Sebelum insiden Lion Air ini, sebelumnya ada kasus pesawat Adam Air yang tergelincir tanggal 10 Maret 2007.


Laki-laki kelahiran 26 Agustus 1960 ini mulai bekerja sebagai junior ATC sejak tahun 1982, setelah tamat Diploma Dua (D2) tamat Pendidikan Latihan Penerbangan (PLP) Curup. Tugas pertamanya di Balikpapan dan enam kemudian ditarik ke Jakarta. Kemudian ia ditugaskan ke Tanjungpinang 6 Juni 1983 dan pindah ke Batam bulan September 1984. Pendidikan terakhirnya adalah Diploma 4 (D4) di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Indonesia (STPI) Curup dan bergelar Sarjana Ilmu Terapan (SSIT).


Sebagai Chief ATC Hang Nadim, Irwan membawahi 20 orang staf. Sebagian besar mereka sudah memiliki kualifikasi radar (senior). Irwan ternyata masih menyimpan obsesi. Ia ingin Bandara Hang Nadim punya radar yang bisa memantau titik pesawat dalam kondisi cuaca yang paling buruk sekali pun.


Saat ini petugas ATC hanya mengandalkan pengamatan secara konvensional. Kendalanya ada batasan pengamatan. Petugas sangat kesulitan memantau pesawat dalam kondisi cuaca jelek. Ini bisa diatasi dengan adanya radar semacam Secondary Surveillance Radar (SSR). ”Radar SSR bisa memantau sampai ratusan kilometer. Kalau Hang Nadim sudah punya, tak sulit menentukan koordinat pesawat. Harganya Rp60-80 miliar,” ujarnya.***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda