SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Rabu, 18 Maret 2009

Konflik Mega-SBY Menahun


Presiden SBY kembali menegaskan kesediaannya mencairkan hubungan dengan Megawati yang telah membeku sejak 2004.
“Andaikata, andaikata, Ibu Mega bilang besok saya mau bertemu dengan SBY, maka saya pun besok juga akan mau bertemu dengan beliau. Banyak hal yang perlu diklarifikasi antara saya dan beliau,” ujar SBY dalam acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/)
PDIP, partai yang dipimpin Mega, sendiri masih enggan melayani SBY. “Kan tidak ada masalah yang mendesak yang mengharuskan kedua beliau untuk ketemu,” ujar Ketua PDIP Tjahjo Kumolo.
Bagaimana sebenarnya konflik ini bermula? Untuk kilas balik, ada baiknya kita buka buku laris karya Prof Dr Tjipta Lesmana MA., berjudul Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
Di halaman 303, Prof Tjipta menulis, jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres.
Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya, dia siap dicapreskan PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.
Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab, ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.
Memasuki 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Sepeti anak kecil
Megawati dan kubunya rupanya menaruh curiga pada manuver SBY. “Sumber penulis menuturkan, yang membuat Megawati kesal, bercampur galau, adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dnegan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet,” tulis Prof Tjipta di halaman 305.
Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai “seperti anak kecil”. “Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden, dia mau mencalonkan diri sebagai capres,” komentarnya.
Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 11 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko Polkam. Dua hari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.
“SBY dianggap pengkhianat. Menikam dia (Mega-red) dari belakang! Enggak gentle,” ucap Roy Janis (halaman 289). Roy adalah tangan kanan Mega yang kini berseberangan dengan Mega dan mendirikan PDP.
“SBY dianggap menelikung dia. Mengkhianati dia,” kata Laksamana Sukardi, orang kepercayaan Mega yang kini satu gerbong dengan Roy.
Menurut Roy, kegusaran dan kebencian Mega terhadap SBY bahkan diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY), saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang!” begitu kata Mega di rapat pimpinan DPP PDIP sebagaimana ditirukan Roy.
Alhasil, saat SBY membacakan sumpah presiden pada 20 Oktober 2004, Mega memilih berkebun dan membaca buku di kediamannya di Kebagusan, Jaksel, tak memenuhi undangan pengambilan sumpah.

Sengaja
Menurut Prof Dr Tjipta Lesmana, SBY adalah politisi yang lihai. Bahkan dia menilai, ‘konflik’ SBY dengan Mega semata-mata konflik yang direkayasa sendiri oleh SBY.
Di halaman 307 pengamat politik ini menilai, konflik SBY-Mega yang dimulai pada 2004, sengaja dipelihara, kemudian di-blow up pada timing yang tepat dengan memanfaatkan media massa. Tujuannya untuk menarik simpati publik.
Kubu Megawati, tanpa sadar, digiring masuk perangkap, karena tidak jeli melihat permainan politik SBY yang cantik ini. Hal ini terutama tercermin dari ucapan-ucapan yang keluar dari kubu Megawati.
Dalam konflik Mega-SBY, SBY berhasil menciptakan opini publik, ia telah dizalimi oleh Mega; Mega dipojokkan sebagai pemimpin yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap pembantunya, SBY. “Dan SBY pun berhasil gemilang “mengibuli” media massa, sedemikian rupa akhirnya mayoritas media massa berpihak kepada SBY,” tulis Prof Tjipta seperti ditulis detikcom.
Akibat dari strategi ini, begitu SBY terjun berkampanye, sambutan massa pun gegap gempita. “Rakyat seolah-olah menyambut seorang pahlawan yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter bernama Megawati Soekarnoputri!” tulis Prof Tjipta.
Menurut Prof Tjipta, bukti SBY memelihara konfliknya dengan Megawati hingga saat-saat terakhir tampak dari pernyataan-pernyataan dan dua pucuk surat yang dikirimkan SBY kepada Presiden Megawati. Surat pengunduran dirinya sengaja dikirim pada saat yang kritis. Dan hanya 2 hari setelah mundur, SBY kampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat, lalu keliling Nusantara untuk kampanye.
“Apakah kampanye di Banyuwangi pada 13 Maret (2004) hanya suatu koinsidensi? Mustahil! Jadwal kampanye itu pasti sudah dibuat jauh hari sebelumnya, ketika SBY masih “disibukkan” oleh perseteruannya dengan Megawati, ketika SBY masih beretorika “untuk mengkonsultasikan dan menemukan solusi sebetulnya pelaksanaan tugas saya sebagai Menko Polkam” (surat SBY pada Mega, 9 Maret-red)...” tulis Prof Tjipta di halaman 308.

Selanjutnya Prof Tjipta menulis:
“In restrospect, wajar kalau Megawati benci, bahkan benci setengah mati pada SBY. In restrospect pula, Megawati kemudian pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah dijebak oleh SBY. Itulah sebabnya kenapa SBY tidak pernah mau terbuka ketika ditanya kesiapannya mencalonkan diri dalam Pemilu 2004. Ia memilih timing yang tepat untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya, yaitu ketika opini publik sudah memvonis Megawati sebagai presiden yang telah memperlakukan salah satu menterinya, Menko Polkam, secara tidak adil dan sewenang-wenang yaitu me-nonjob-kan SBY selama berbulan-bulan.”

Seharusnya Mega Tahu
Konflik mereda setelah SBY mundur sebagai Menko Polkam dan menjadi capres dari Partai Demokrat (PD) pada 11 Maret 2004. SBY lalu maju Pilpres dan menjadi pemenang. Sedangkan Megawati sakit hati dan merasa ditikam dari belakang karena SBY tidak terbuka padanya maju sebagai capres semasa menjadi anak buahnya.
Padahal seharusnya Megawati sadar, SBY mengincar kursi presiden sejak 2001, setelah kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi wapres di DPR. Kala itu Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Hamzah Haz-lah yang terpilih sebagai wapres.
Kalah dalam pertarungan itu, SBY berinisiatif mendirikan PD. Sebuah kendaraan politik untuk mengantarkan SBY menduduki tampuk kekuasaan.
“Waktu itu kami berdiskusi, ikut partai besar atau membuat partai baru. Kita putuskan untuk membentuk partai sendiri. Kemudian beliau (SBY) bilang ‘Saya berikan nama Partai Demokrat,’ ujar salah satu pendiri PD, Thonty Bahaudin, kepada detikcom, Senin (16/3)
Menurut Thonty yang telah keluar dari PD ini, pertemuan tersebut terjadi pada 12 Agustus 2001 malam di Hotel Hilton (kini The Sultan), Jakarta Pusat (Jakpus). Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan yang menjadi sejarah dimulainya kejayaan PD itu.
Mereka di antaranya adalah SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, Thonty Bahaudin, Adhyaksa Dault, Kolonel Kurdhi Musthofa, M Yasin (Letjen M Yasin, keluar dari PD dan mendirikan Pakar Pangan-red), dan Ventje Rumangkang (keluar dari PD dan mendirikan Partai Barnas-red). PD diresmikan pada 12 September 2001.
“Niat awalnya memang untuk mengantarkan SBY menjadi presiden. Ibu Mega seharusnya sudah sadar waktu itu, ada apa ini mendirikan partai?” jelas Thonty.
Keinginan SBY untuk mencapreskan diri, lanjut Thonty, sudah matang. Jikalau pun SBY terkesan diam-diam dan belum mau terbuka, itu merupakan strategi pria asal Pacitan, Jawa Timur, ini.
SBY menunggu saat yang tepat. Dan momentum pun tiba ketika terjadi perseteruan politik yang cukup emosional antara SBY dan Megawati. SBY kemudian tampil ke publik sebagai ‘pembantu’ presiden yang terpinggirkan.
“Itulah sikap politisi yang sesungguhnya. politik itu kan nggak hitam putih. Dan Ibu Mega kena taktik politik SBY. Beliau (Megawati) kurang waspada,” kata Thonty.
Kalangan elit PD, lanjutnya, juga sudah tidak sabar menanti SBY hengkang dari kursi Menko Polkam. Setelah SBY Mundur, tekad untuk memenangkan SBY di ajang pilpres makin membesar. Seluruh elemen PD berjuang mati-matian untuk menjual SBY.
“Saya menciptakan slogan SBY (Selamatkan Bangsa yang Besar ini). Kita sebut SBY sebagai pendiri Partai Demokrat, dan sebagainya,"kata Thonty.

Kronologi Konflik SBY-Mega
BENIH-benih konflik Mega-SBY bermula pada 2003, saat muncul isu SBY akan maju sebagai capres. Setelah itu perseteruan mengerucut hingga akhirnya Mega enggan bertemu atau bicara dengan eks anak buahnya itu.
Berikut ini kronologi konflik keduanya, disarikan dari buku Prof Tjipta Lesmana Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa:

Akhir 2003: Santer beredar isu Menko Polkam SBY akan maju dalam Pilpres 2004. SBY sering muncul dalam iklan di TV untuk sosialisasi pemilu. Karena banyak protes, KPU menghentikan tayangan itu. Kubu Mega mencium ‘aroma politik’ SBY dan mengucilkannya.

1 Maret 2004: Sesmenko Polkam Sudi Silalahi menyatakan, SBY merasa dikucilkan oleh Presiden Megawati dengan tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Istana menjawab, saat itu SBY ada di Beijing. ‘Perang mulut’ kedua kubu pun dimulai. Taufiq Kiemas menyebut SBY ‘jenderal kok kayak anak kecil’.

9 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, isinya konsultasi tugasnya sebagai Menko Polkam. Mega tak membalasnya.

11 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, mengundurkan diri sebagai Menko Polkam.

13 Maret 2004: SBY berkampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat.

16 September 2004: ‘Debat capres’ di televisi. Mega berpesan pada panitia bahwa tidak ada acara jabat tangan antar sesama capres.

5 Oktober 2004: Hari TNI ke-59, Presiden Megawati berpesan agar semua pihak legowo menerima hasil pilpres. Mega meneteskan air mata.

Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa pemenang pilpres adalah SBY. SBY hadir dalam HUT TNI itu dan menjadi ‘bintang lapangan’. Tempat duduk SBY dan Mega diatur sedemikian rupa sehingga keduanya tidak berjumpa.

20 Oktober 2004: SBY membacakan sumpah presiden. Mega yang diundang menolak datang dengan alasan agar khusyuk mendoakan acara SBY itu berjalan lancar. Faktanya, Mega memilih berkebun dan membaca buku di rumahnya di Kebagusan, Jaksel.

20 Oktober 2004 sore: Mega mengundang warga sekitar dan kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan. “Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!” pidato Mega kala itu.

Saat Mega bertanya apakah kader PDIP siap merebut kembali ‘kursi’ yang lepas itu, hadirin menjawab, “Siaaap!”

Tahun 2005: Indonesia menjadi tuan rumah Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika. Presiden SBY mengutus Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk menyampaikan undangan pada Mega, sebab Purnomo dinilai dekat dengan Mega.
Mega menolak menerima Purnomo.(Harian Singgalang)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda