SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Kamis, 26 Maret 2009

Mesin Mati, Sriwijaya Mendarat Darurat


Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 039 yang berangkat dari Bandara Raja Haji fi Sabilillah (RHF) Tanjungpinang tujuan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Senin (23/3) sekitar pukul 07.30 WIB, mendarat darurat di Bandara Hang Nadim, Senin (23/3) sekitar pukul 07.58 WIB lantaran mesin sebelah kiri mati setelah pesawat terbang 10 menit.

Dalam penerbangan ini, jumlah penumpang 116 orang, satu orang di antaranya anak-anak berumur empat tahun. Ditambah enam kru, yakni satu pilot, satu co-pilot dan empat kabin kru. Pesawat dipiloti Capt Terry dan co-pilot Deron.

Pesawat Boeing 737-200 itu terbang sesuai jadwal. Salah seorang penumpang, Eriyana Agus menuturkan, tak ada tanda-tanda pesawat akan mengalami kerusakan sebelum terbang. Tapi baru 10 menit terbang, penumpang dikejutkan munculnya suara seperti ledakan.


”Penumpang semua terkejut. Suaranya cukup keras. Seperti ada yang meledak,” kata Agus di ruangan tunggu Hang Nadim.


Sama halnya dengan penumpang lain, ia pun bertanya-tanya apa yang terjadi. Tak lama berselang, pramugari pesawat memberikan informasi adanya gangguan mesin pesawat. Penumpang diminta tenang. Pramugari juga memberitahukan pesawat akan mendarat di Bandara Hang Nadim.


Kata Agus, setelah adanya kerusakan di mesin pesawat, penerbangan tak terganggu. Ia melihat penumpang lain juga terlihat tenang. Tak ada yang menangis, termasuk anak kecil yang ada di dalam pesawat. ”Saya tak trauma. Cuma terkejut adanya suara ledakan saja. Pesawat juga tak oleng, setelah mesinnya mati sebelah,” ujarnya.


Penumpang lain, Damsiri mengaku terkejut dengan adanya suara seperti ledakan saat pesawat belum lama terbang. Kejadian itu, katanya terjadi sebelum pramugari membagikan makanan ringan.”Suara cukup keras, tapi tak ada goncangan,” ujar Kabid Pendidikan Dasar Disdik Kepri ini.


Dalam pesawat itu juga ada Kepala Badan Penanaman Modal dan Investasi Daerah (BPID) Kepri, Syed Taufik dan Kakan Kesbang Linmas Kab Bintan, Dian Nusa. Kepada Batam Pos, Senin (23/3) Dian Nusa, mengatakan saat itu dia duduk di bangku depan sebelah kiri dan saat pesawat baru terbang sekitar 10 menit di mesin sebelah kiri terdengar bunyi yang aneh. Tak lama setelah tu diumumkan ada kerusakan teknis di pesawat dan karenanya pesawat akan kembali tapi ke Bandara Hang Nadim, Batam.


”Setelah bunyi di mesin itu, kecepatan pesawat seperti berkurang. Saat itu penumpangnya penuh dan nampaknya banyak yang langsung pucat. Tapi akhirnya berhasil mendarat mulus walaupun pesawat terasa agak bergoyang,” kata Dian, yang masih berada di Bandara Hang Nadim, Batam.


Atas kejadian itu dia mengaku tidak terlalu terpengaruh dan rencananya akan tetap berangkat ke Jakarta. Tapi, karena dua rekannya yang lain trauma dan memilih balik ke Tanjungpinang. Maka, diapun memilih sikap sama dengan tidak menunda rencana keberangkatan ke Jakarta itu.


Secara terpisah, Ka BPID Prov Kepri, Syed Taufik yang dikonfirmasi terpisah juga tidak terlalu terpengaruh atas kejadian itu. Sebab, dia meyakini jika waktunya sudah tiba di manapun tempatnya bisa terjadi. Walau diakuinya saat mendengar bunyi mesin sebelah kiri ada yang aneh jantungnya seperti mau lepas. Karenanya setelah mendarat dengan selamat di Batam, dia langsung melanjutkan perjalanannya ke Jakarta dengan pesawat milik maskapai Batavia Air.


”Setelah bunyi itu pesawat sempat guncang dan sebelum pramugari bilang pesawat akan kembali. Saya dah yakin kembalinya pasti ke Batam. Waktu dengar bunyi mesin tu jantung macam nak lepas. Tapi saya yakin segalanya tergantung pada Yang Di Atas. Dengan satu mesin pesawat bisa mendarat dengan baik, pilotnya bagus,” ujar Syed Taufik yang saat dikonfirmasi sudah berada di Jakarta.

KNKT Tak Kirim Ivestigator


Kepala Kelompok Seksi Keselamatan Penerbangan Hang Nadim, Elfi Amir mengatakan, Sriwijaya Air mengalami kerusakan mesin sebelah kiri. Namun, penyebabnya belum diketahui. ”Engine I yang bermasalah. ATC kita terima informasi dari Singapura jam 07.39 WIB. Petugas ATC langsung berkoordinasi untuk memandu pendaratan darurat,” kata Elfi di Hang Nadim.


Ada empat petugas ATC yang memandu pendaratan pesawat, yaitu Aris, Dodi, Angga dan Ari. Pesawat akhirnya mendarat dengan sempurna di runway 04. Usai mendarat, penumpang dibawa ke ruangan tunggu untuk menunggu arahan dari pihak Sriwijaya Air.


Saat ini pesawat parkir di Hang Nadim. Pihak bandara belum mengizinkan pesawat itu terbang hingga ada keputusan dari Direktorat Sertifikasi Kelayakan Udara (DSKU), Departemen Perhubungan. ”Saya sudah menginformasikan kejadian ini. Tim turun untuk mengecek penyebab gangguan mesin,” ujarnya.


Elfi menyebutkan, Boeing 737-200 mempunyai dua mesin, kiri dan kanan. Saat salah satu mesin mengalami kerusakan sehingga tak berfungsi, pesawat masih bisa terbang hingga melakukan pendaratan darurat. ”Pilot harus bisa mengambil keputusan dalam kondisi begini. Dalam pendidikan hal ini juga dilatih,” katanya.


Seluruh penumpang hingga kemarin siang, sudah bisa diterbangkan dengan pesawat lain. Sebagian besar dengan pesawat Lion Air dan sebagian lain dengan Mandala. Ada juga penumpang dengan pesawat lain.


Humas Sriwijaya Air, Ruth Hanna membantah pesawatnya mendarat darurat. Pendaratan, katanya sudah sesuai prosedur keselamatan penerbangan. Hanna menyebutkan, istilah pendaratan darurat merujuk pada kondisi di mana pesawat tak memiliki tenaga dan kehilangan kendali saat berada di udara. Akibatnya, pesawat mendarat di mana saja, seperti sungai, persawahan, atau permukiman. ”Ini masih bisa mendarat di bandara terdekat dengan mulus. Keputusan pilot sudah benar,” ujarnya.


Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut insiden pendaratan pesawat B737-200 Sriwijaya Air di Bandara Hang Nadim, Batam, dengan hanya satu mesin, bukan pendaratan darurat.


”Jangan salah persepsi. Itu tak termasuk ‘emergency landing’,” kata Juru Bicara KNKT JA Barata di Jakarta.
Meski hanya dengan hanya satu mesin dan bukan di tempat bandara yang dituju, kata Barata, hal itu tak termasuk dalam kategori pendaratan darurat karena terbukti pesawat itu mendarat dengan aman. Selain itu, katanya, kejadian tersebut dalam kategori insiden biasa, bukan insiden serius, apalagi kecelakaan. ”Jadi, KNKT tak perlu kirim investigator untuk menyelidiki guna mencari penyebabnya,” katanya.


Selain kejadian Sriwijaya Air yang mendarat darurat ini, ada juga Riau Aiarlines (RAL) yang penerbangan dari Jakarta tujuan Pekanbaru terpaksa dialihkan ke Batam, Ahad (22/3) pukul 19.30 WIB. Penerbangannya dialihkan karena cuaca buruk di Pekanbaru. Salah seorang penumpang pesawat adalah Wakil Gubernur Riau Mambang Mit.


Sekitar 40 menit di Hang Nadim, pesawat terbang ke Pekanbaru karena kondisi cuaca di sana sudah berangsur baik. ”Memang ada divert ke sini. Hanya 40 menit, pukul 20.10 WIB sudah terbang lagi,” kata Kepala Perwakilan RAL Batam, Kholil Wahyudi di Hang Nadim, kemarin. ***

Sabtu, 21 Maret 2009

Kampanye, Bisnis Pengerahan Massa Lesu


Musim kampanye terbuka telah tiba. Masing-masing partai politik mulai unjuk kekuatan. Mereka berusaha keras mengerahkan massa sebanyak-bayaknya. Jika perlu, mengorder massa dari penyedia jasa pengerahan massa. Lalu apakah bisnis ini masih dilirik oleh parpol peserta pemilu 2009 di Batam?
----------
”Anda butuh massa, hubungi nomor ini 0813XXXXXX”. ”Kalau membutuhkan massa, silahkan hubungi Lembaga Swadaya Masyarakat Singa Lapar, layanan terjamin”.

Begitulah bunyi kalimat spanduk dari sejumlah jasa pengerahan massa yang dipasang di sejumlah ruas jalan di Batam pada pemilu 2004 lalu. Bahkan, ada juga yang memberikan layanan pengerahan massa secara diam-diam. Bahkan, saat itu, tidak sulit mendatangkan massa yang banyak, asal ada uang, berapapun orang bisa didatangkan.

Tapi saat ini, meski sudah memasuki hari kedua kampanye terbuka, sejumlah penyedia jasa pengerahan massa, baik itu Organisasi Kepemudaan (OKP) atau LSM, masih sepi order.

Bahkan, beberapa diantaranya mengakui, kalau saat ini bisnis ini sedang lesu. Ada juga yang menilai masa keemasan jasa pengerahan massa sudah berlalu. ”Sekarang kalau pasang spanduk pun, siapa yang mau memesan,” kata Sekretaris MPC Pemuda Pancasila (PP) Kota Batam, Andi S Mukhtar, kemarin.

Ia menyebutkan, ada perbedaan yang mencolok kampanye pemilu 2004 dan pemilu 2009. Salah satunya, pengerahan massa yang menjadi pemandangan umum dalam pemilu 2004.
”Tahun 2004 yang namanya kampanye, identik dengan massa banyak di lapangan,” kata Andi, kemarin.

Saat itu, ia mengaku banyak diminta tolong oleh sejumlah parpol dan caleg untuk dicarikan massa. Mereka tak segan-segan mengiming-imingi dengan dana tertentu untuk mencarikan massa dalam jumlah yang besar. Massa itu tak hanya hadir pada kampanye satu partai, tapi juga ikut kampanye kalau ada parpol lain yang meminta.

Andi menilai, sistem suara terbanyak menyebabkan caleg fokus mensosialisasikan diri sendiri, ketimbang mempromosikan parpolnya. Caleg tersebut turun langsung ke masyarakat di daerah pemilihannya, dari pintu ke pintu. ”Kalau sekarang belum ada teman-teman pimpinan parpol dan caleg yang datang minta bantuan,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan Ketua Ikatan Pemuda Barelang (IPB) Mulyadi yang. Menurutnya, OKP dan LSM banyak yang bermunculan dalam pemilu 2004. Jasanya banyak digunakan parpol untuk mencari massa dalam kampanye.
”Tak cuma OKP dan LSM. Organisasi paguyuban juga banyak keciprat rezeki dalam pemilu 2004,” kata Mulyadi, kemarin sore.

Ia menyebutkan, tak bergairahnya kampanye terbuka juga disebabkan caleg menilai sistem ini tak efektif lagi. Mereka enggan jor-joran mengeluarkan dana. Pimpinan parpol juga fokus pada sosialisasi dirinya pribadi di daerah pemilihannya.
”Kampanye pemilu 2009 terpanjang di dunia, hampir sembilan bulan. Butuh dana besar. Jadi saat kampanye terbuka, kurang gregetnya. Amunisi caleg banyak yang hampir habis,” ujarnya.

Sama dengan Andi, Mulyadi juga mengaku belum ada parpol dan caleg yang datang kepadanya untuk meminta bantuan dalam mencari massa.
”Kalau ada, kita siap mendatangkan. tapi sekarang belum ada tanda-tanda,” ujarnya.
Ia menilai, kampanye terbuka dalam pemilu 2004 berdampak positif karena membuka lapangan pekerjaan baru. Mereka yang tak punya pekerjaan atau pengangguran bisa diajak meramaikan kampanye. Tukang ojek atau pun pekerja sektor informal lain bisa mencari penghasilan tambahan.

Abdullah Yusuf, Ketua Ikatan Pemuda Muslim Flores juga mengakui kampanye pemilu kali ini kehilangan greget. Sebelumnya parpol berlomba untuk kampanye terbuka. Banyak terjadi pelanggaran karena parpol kampanye di luar yang dijadwalkan.
”Sekarang ada parpol yang diberikan kesempatan kampanye, malah menolak. Mereka tak berkampanye terbuka,” kata Sekretaris Gerakan Pemuda Kabah (GPK) Kota Batam ini.

Ditanya pengalamannya saat pemilu 2004, Abdullah menyebutkan, saat itu ia sangat sibuk karena banyak menolong teman-temannya yang aktif di parpol dan jadi caleg.
”Partai ini minta massa sekian, partai lain juga minta. Rezeki juga mengalir,” ujarnya.
Rencananya, ia ikut berkampanye bersama anggota saat giliran PPP melakukan kampanye terbuka. Itu pun kapasitasnya berbeda. Ia hadir sebagai Sekretaris GPK Batam.
“GPK kan underbouw PPP. Kewajiban kami memenangkan PPP.” kata Yusuf.

Baik Andi Mukhtar, Mulyadi dan Abdullah Yusuf juga punya pendapat yang sama. Dengan sistem suara terbanyak, masyarakat banyak yang terbantu. Caleg langsung datang ke masyarakat. Tak hanya manusia yang dieksploitasi tenaganya untuk datang kampanye dengan biaya tertentu.***

Napak Tilas Jejak Tan Malaka


Pada pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, kami bersiap berangkat mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar 80 kilometer ke arah utara Bukittinggi.

Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray, seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.

Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang akan mengunjungi rumah Tan Malaka, di antaranya sejarawan Mestika Zed, mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat 21 Februari lalu.

Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.

"Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar," katanya.

Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi.

Dulunya sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka.

Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan nilai baik, karena dia anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.

Harry A. Poeze turun dan memeriksa dinding ruang guru mencari-cari sesuatu.

"Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di tempat ini," kata Harry.

Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di dinding yang menerangkan pendirian Kweek School tahun 1873-1908. Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di balik lemari.

Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau geleng-geleng kepala.

"Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita," sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.

Asrama Tan Malaka Menjadi Asrama Polisi

Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi Muslim mengatakan kepada Harry Poeze, ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya. Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu, dan siswanya membuat laporan berdasarkan bahan di internet.

"Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi Sekolah Tan Malaka," kata Harry.

Dari informasi Kepala Sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi asrama polisi di belakang sekolah.

"Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa," kata Harry saat kami keluar dari gerbang sekolah.

Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil memakan kerupuk sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula aren.

"Rasanya mirip salah satu kue di Belanda," kata pencinta masakan Indonesia ini.

Harry beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.

"Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka," katanya.

Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung, pada 1976 ia datang bersama istrinyam Henny Poeze untuk memulai penelitiannya ke kampung Tan Malaka.

"Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang, kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia, akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang," kenang Harry.

Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan keponakan Tan Malaka yang menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh itu.

Jejak Tan Malaka di 2Benua

"Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi 2 benua dan 11 negara untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana," kata Harry memberi alasan ketertarikannya kepada Tan Malaka.

Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka. Termasuk 10 tahun untuk menulis buku Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 yang diluncurkan Juli tahun lalu dalam bahasa Belanda.

Sedangkan dalam bahasa Indonesia saat ini masih diterjemahkan dibagi dalam 6 jilid. Jilid pertama menurut Harry direncanakan akan terbit tahun ini.

Dari Payakumbuh, kami melewati Jalan Tan Malaka, salah satu jalan utama di Kota Payakumbuh arah ke luar kota. Jalan raya ini terbentang sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan dengan aspal mulus ini akan melewati rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.

Keluar dari Kota Payakumbuh, pemandangan pedalaman Ranah Minang yang asri mulai terhampar di depan mata. Roger Tol tak berhenti berdecak kagum. Pemandangan yang kami lewati memang amat menawan, lembah dengan sawah yang menghijau terbentang di kaki bukit, dipagari pohon-pohon kelapa. Di belakangnya berlapis-lapis bukit hijau dan biru menjadi latar yang indah ditambah dengan langit berawan putih di atasnya.

"Ini seperti sorga, kenapa Tan Malaka meninggalkan tempat seindah ini?" kata Roger Tol kepada Harry.

Harry tersenyum memandang ke luar jendela. "Dia kan harus pergi merantau," jawabnya.

Sampai di Pandan Gadang kami disambut keluarga besar Tan Malaka yang mengenakan pakaian adat. Henri, seorang keluarga keturunan Tan Malaka dari garis ibu kini mewarisi gelar Datuk Tan Malaka yang menambah panjang namanya menjadi Henri Datuk Tan Malaka. Ia mengenakan pakaian datuk kuning terang.

Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari jalan raya. Ada rumah adat minang bergonjong dan tua. Di bagian depan teras tertulis ‘Tan Malaka'. Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis keturunan materilineal di Minangkabau.

Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Di depan rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, dan berair jernih. Di depan rumah menjulang bukit yang hijau ditumbuhi pohon dan perdu.

Acara Tanpa Bantuan Pemerintah

Untuk memperingati kematian Tan Malaka, keluarga besarnya menggelar tahlilan selama satu jam. Keluarga besar Tan Malaka, KITLV dan Pusbitdem (Pusat Studi Penerbit dan Pustaka Demokrasi) menggelar acara ini tanpa bantuan pemerintah. Sehari sebelumnya, mereka juga menggelar seminar di Bukittinggi tentang Tan Malaka.

"Kita mencoba menanam benih, mudah-mudahan ini tumbuh besar," kata Asmun A. Sjueib, ketua panitia.

Diawali dengan pantun petatah petitih Minangkabau dan irama talempong, museum sederhana itu diresmikan oleh Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Magdalia Alfian.

Enam bulan lalu rumah ini masih dihuni Indra Ibnur Ikatama dan keluarganya. Indra adalah satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara perempuan dari ibu Tan Malaka.

Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki, Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin. Sinah hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit dari Janah.

Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri. Atapnya seng bergonjong 5 dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga kayu.

"Rumah ini dibangun sejak 1826, namun Tan Malaka lahir di rumah surau yang kini sudah menjadi sawah, saat dia diangkat menjadi datuk, baru dibawa ke rumah ini," kata Ani Zarni salah seorang keluarga Tan Malaka.

Harry Poeze disambut bak teman lama keluarga. Semua keluarga Tan Malaka sudah mengenalnya. Ia menyerahkan bukunya yang beratnya 5 kilogram itu untuk koleksi pustaka.

"Pak Harry sering ke rumah saya di Jakarta, dan tiap kali makan masakan Minang selalu minta catatkan resepnya,resep rendang, resep pangek ikan, pokoknya apa saja yang baru saya disuruh catat," kata Anna Yuliar, adik Ani Zarni.

Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ruang tamu dan ruang keluarga terlihat sudah menyatu tanpa sekat. Di dalamnya kini ada lemari kaca yang menyimpan buku-buku Tan Malaka dan buku-buku yang membahas Tan Malaka. Koleksi lainnya adalah baju Tan Malaka saat menjadi datuk, piringan hitam dan pemutarnya, tempat tidur dan foto-foto Tan Malaka.

Menurut Ani Zarni, pada masa pemberontakan PRRI, rumah gadang ini pernah menjadi dapur umum untuk pejuang PRRI.

"Saya masih ingat saat itu berumur 10 tahun, kami lari ke bukit dan saya dipaksa menembakkan senapan dari atas bukit," kata Ani Zarni.

Buku-bukunya Dibakar

Dimasa itulah buku-buku dan barang pribadi Tan Malaka terpaksa banyak yang dibakar, untuk menghilangkan jejak agar tidak disangka pemberontak.

Untuk memastikan kematian Tan Malaka, keluarga Tan Malaka sudah sepenuhnya menyerahkannya kepada Harry Poeze untuk mengurusnya.

"Tahun lalu saya sudah tanyakan tentang kemungkinan pembongkaran kuburan yang kita duga kuburan Tan Malaka, dan pihak keluarga sudah setuju, Menteri membentuk tim, tapi sampai kini masih belum ada penyelesaian," kata Harry.

Sejarawan Mestika Zed yang ikut dalam rombongan, mengaku terkesan melihat rumah Tan Malaka karena ini kedatangannya yang pertama.

"Saya termasuk orang yang kelam jalan ke sini, dan tempat ini sangat indah, sebuah lembah yang punya ruangan yang sangat sehat dan lingkungan yang jarang didapat, saya terkesan dengan lingkungan ini, tapi juga punya korelasi dengan si tokoh dalam arti memberikan inspirasi untuk seorang tokoh, saya kira lingkungan seperti ini akan melahirkan generasi yang sehat karena lingkungannya enak," katanya.

Lewat tengah hari kami pulang. Harry mengaku senang sekali karena rumah Tan Malaka kini sudah dijadikan museum.

"Berarti ada kemajuan dan lebih mudah mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan Tan Malaka," katanya.

Dalam perjalanan pulang beberapa kali ia minta berhenti dan memotret kampung halaman Tan Malaka yang indah itu. (febrianti/padangkini)

Kamis, 19 Maret 2009

Koran Besar Amerika Bertumbangan

Jika krisis ekonomi berlangsung lebih lama lagi, akankah ada lagi koran yang memberitakan tentang hal itu?

Industri koran AS tengah dilanda resesi. Satu persatu koran di negeri Paman Sam itu mulai berjatuhan. koran The Rocky Mountain News (150) menyatakan diri tutup, dan edisi terakhirnya pada Jumat (27/2). Dan kini giliran koran besar dan tua lainnya, Seattle Post-Intelligencer yang yang berdiri sejak 1865, menjadikan edisi Selasa (17/3) menjadi terbitan edisi terakhirnya. ”Malam ini kami akan menidurkan koran cetak itu untuk selamanya,” ujar Editor dan Penerbit Roger Oglesby kepada staffnya Senin (16/3) pagi.

Koran Post Intelligencer, yang dimiliki oleh The Hearst Corp., Senin (16/3), telah memberitakan kepada 117.600 pembaca setianya, akan tutup pada Selasa itu. Penutupan itu tidak terelakkan. Ini karena sejak tahun lalu hingga 9 Januari 2009, Hearst mengaku mengalami kerugian sebesar USD 14 juta. Dia pun mengisyaratkan akan menutup Post-Intelligencer jika tidak ada pembeli dalam waktu 60 hari. Pada hari yang ditetapkan, target yang diinginkan tidak tercapai. Hearst pun menepati janji. Koran P-I terbitan Selasa (17/3) menjadi edisi cetak terakhir.

Hearst juga mengatakan berencana menutup korannya yang lain, San Francisco Chronicle. Chronicle telah mengalami kerugian lebih dari USD 50 juta pada 2008, dan memasuki 2009 semakin parah. Sirkulasi turun 7 persen dalam enam bulan, pada 23 september 2008. Selain itu pendapat iklan pun turun. Pihak perusahaan telah memberhentikan saparo staf editorialnya. Namun jika cara itu masih belum cukup mengembalikan keuntungan perusahaan, San Francisco Chronicle akan tutup.

Pada hari yang sama dengan tutupnya P-I, koran The Tucson Citizen mengumumkan pihaknya akan berhenti menerbtikan koran jika tidak bisa menemukan pembeli hingga 21 Maret mendatang.

Nama-nama Besar

Tidak hanya menutup koran Rocky Mopuntain News dan Seattle Post-Intelligencer, serta mengancam San Francisco Chronicle, ressi juga telah mengancam nama koran terbesar di industri AS. New York Times tengah berjuang membayar hutang sebesar USD 400 juta. Tahun lalu ia telah menggadaikan markas barunya yang dibangun pada 2007 untuk mendapatkan uang segar.

Tribune Company yang memiliki Chicago Tribune, Los Angeles Times, Baltimore Sun dan nama lainnya, mendaftarkan diri bangkrut pada Desember lalu. Dan seirng korannya masih yang tetap terbit, dampak dari pendaftaran itu tampaknya mengarah pada pembenahan.

Tiga perusahaan koran lainnya juga telah mendaftar seabgai perusahaan yang mengalami bangkrut beberapa bulan terakhir: the Star Tribune Holding Corporation (yang memiliki Minneapolis Star-Tribune), Journal Register Company (yang memiliki New Haven Register dan nama lainnya di wilayah timur laut), dan Philadelphia Newspapers LLC (yang memiliki dua koran papan atas di Philadelphia, the Inquirer dan the Daily News).

Meskipun beberapa perusahaan melakukan perbaikan lebih baik dari yang lainnya, dan beberapa perusahaan (seprti Tribune Co) mengambil utang lebih besar dari yang dinasehatkan, kebangkrutan dan penutupan sangat mungkin terjadi di tengah depresi industri yang meluas. ***

Rabu, 18 Maret 2009

Trauma Suci Korban Galodo Malalak


Menyebut nama daerah Malalak, Agam (Sumbar), yang terlintas di benak masyarakat Sumatra Barat saat ini adalah kejadian galodo atau longsor yang menelan korban enam warga setempat. Hal itu dinilai wajar karena peristiwa Malalak tidak hanya menjadi konsumsi media lokal, tapi juga nasional. Hampir tidak ada orang yang tak tahu tragedi malam mengenaskan 7 November 2008 itu.
Adalah Suci Muharni, 15, salah satu korban selamat yang hingga kini masih trauma. Walaupun luka-luka di sekujur tubuhnya telah hilang, tapi dia tidak bisa melupakan tragedi malam naas tersebut. Bukan saja karena tubuhnya babak belur dihempaskan air bercampur lumpur, lebih dari itu dia harus kehilangan kedua orangtuanya, Nadirsyam dan Afnida serta kedua adiknya, Syahrul Syafar dan Mediana Sepriani. Bahkan, jasad ayahnya sampai kini tidak pernah diketemukan. Terkubur bersama dengan hanyutan lumpur yang dibawa air bah yang menghondoh Malalak di Batang Mangoe.

Suci masih ingat, malam itu selepas magrib dia beranjak ke dapur. Ada sesuatu yang akan dikerjakannya di sana. Belum lama dia di sana, terdengar suara gemuruh dan dia dihempaskan oleh air bah yang datang begitu tiba-tiba. Tubuh kecilnya dihanyutkan ke hilir sungai, terombang ambing di atas bebatuan yang ada di Batang Mangoe. Sakitnya jelas tidak terperikan. Suci hanya bisa beristighfar melafazkan kalimat-kalimat Allah. Sampai akhirnya dia diselamatkan dengan pertolongan yang tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT.
“Kalau tidak salah ada dua orang yang menyelamatkan Suci. Tapi, Suci tidak ingat siapa orangnya,” ceritanya kepada Singgalang yang mengunjungi Minggu (1/3) di Aur Kuning, tempat dia berdomisili saat ini.
Hampir satu bulan dia dirawat di Rumah Sakit Dr. Ahmad Mochtar demi menyembuhkan luka-luka di tubuhnya. Kini, luka itu telah sembuh. Tapi, traumanya tidak hilang, seperti sedikit bekas luka yang tersisa di wajahnya yang imut.

Bantuan
Tragedi Malalak menyisakan luka dan trauma yang tidak kunjung hilang di hati gadis kecil kelahiran 27 Juni 1993 itu. Selain membuatnya menjadi yatim piatu bersama adik bungsunya Muhammad Syahrizal, seluruh kenangan indahnya bersama keluarganya juga turut hilang ditelan ganasnya Batang Mangoe di Kenagarian Malalak Timur, Kecamatan Malalak.
Kini, untuk mengenang wajah kedua orangtua dan dua adiknya yang tewas, Suci hanya bisa mengingat-ingat karena foto keluarga hanyut tersapu galodo bersamaan dengan rumahnya yang hilang ditelan air bah.
“Ci, ndak niyo tingga di kampuang (saya tidak mau tinggal di kampung),” lirihnya terbata.
Kepedihan dan kesedihan pasca musibah masih sangat jelas terlihat di wajahnya. Saat berbincang di pagi jelang siang itu, dia selalu berusaha menyembunyikannya dengan menatap lantai dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Bola matanya yang bening terlihat berkaca-kaca saat menceritakan traumanya akan galodo Malalak. Makanya, dia tidak hendak kembali menetap di kampung halaman. Bukan karena sekolahnya yang sudah dipindahkan dari SMP Malalak ke SMP Padang Luar, tapi karena dia merasa lebih nyaman tinggal di Bukittinggi. Kalau lah ada yang mau membantunya membuat rumah di kota wisata itu, betapa dia akan sangat berterimakasih.

Saat ini, dia memang sudah ditampung di rumah bakonya, keluarga Karnida yang sangat menyayangi dia dan adiknya. Tapi alangkah indahnya menetap di rumah sendiri. Terpenting lagi, dengan tinggal di kota wisata itu, dia bisa melupakan kenangan pahit di malam kelabu.

Selain masalah ketersediaan lahan untuk membuat rumah tempat tinggalnya, Suci juga terkendala dana untuk melanjutkan pendidikannya dan menyekolahkan adiknya yang harus segera masuk Taman Kanak-Kanak (TK). Untuk pendidikannya saat ini di SMP Padang Luar, dia memang bisa berlega hati karena biaya ditanggung Dinas Pendidikan Kabupaten Agam. Hanya untuk masuk ke SLTA selepas lulus UN yang sebentar lagi dimulai, dia tidak tahu harus ke mana mengadukannya. Karena, dia tentu tidak bisa bergantung ke Karnida dan keluarga sepenuhnya, meski keluarga ini sangat membantunya. Makanya saat ditanya cita-citanya, gadis pendiam ini tidak bisa memberikan jawabannya. “Belum tahu,” ujarnya. (Singgalang)

Konflik Mega-SBY Menahun


Presiden SBY kembali menegaskan kesediaannya mencairkan hubungan dengan Megawati yang telah membeku sejak 2004.
“Andaikata, andaikata, Ibu Mega bilang besok saya mau bertemu dengan SBY, maka saya pun besok juga akan mau bertemu dengan beliau. Banyak hal yang perlu diklarifikasi antara saya dan beliau,” ujar SBY dalam acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/)
PDIP, partai yang dipimpin Mega, sendiri masih enggan melayani SBY. “Kan tidak ada masalah yang mendesak yang mengharuskan kedua beliau untuk ketemu,” ujar Ketua PDIP Tjahjo Kumolo.
Bagaimana sebenarnya konflik ini bermula? Untuk kilas balik, ada baiknya kita buka buku laris karya Prof Dr Tjipta Lesmana MA., berjudul Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.
Di halaman 303, Prof Tjipta menulis, jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres.
Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya, dia siap dicapreskan PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.
Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab, ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.
Memasuki 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Sepeti anak kecil
Megawati dan kubunya rupanya menaruh curiga pada manuver SBY. “Sumber penulis menuturkan, yang membuat Megawati kesal, bercampur galau, adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dnegan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet,” tulis Prof Tjipta di halaman 305.
Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai “seperti anak kecil”. “Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden, dia mau mencalonkan diri sebagai capres,” komentarnya.
Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 11 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko Polkam. Dua hari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.
“SBY dianggap pengkhianat. Menikam dia (Mega-red) dari belakang! Enggak gentle,” ucap Roy Janis (halaman 289). Roy adalah tangan kanan Mega yang kini berseberangan dengan Mega dan mendirikan PDP.
“SBY dianggap menelikung dia. Mengkhianati dia,” kata Laksamana Sukardi, orang kepercayaan Mega yang kini satu gerbong dengan Roy.
Menurut Roy, kegusaran dan kebencian Mega terhadap SBY bahkan diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY), saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang!” begitu kata Mega di rapat pimpinan DPP PDIP sebagaimana ditirukan Roy.
Alhasil, saat SBY membacakan sumpah presiden pada 20 Oktober 2004, Mega memilih berkebun dan membaca buku di kediamannya di Kebagusan, Jaksel, tak memenuhi undangan pengambilan sumpah.

Sengaja
Menurut Prof Dr Tjipta Lesmana, SBY adalah politisi yang lihai. Bahkan dia menilai, ‘konflik’ SBY dengan Mega semata-mata konflik yang direkayasa sendiri oleh SBY.
Di halaman 307 pengamat politik ini menilai, konflik SBY-Mega yang dimulai pada 2004, sengaja dipelihara, kemudian di-blow up pada timing yang tepat dengan memanfaatkan media massa. Tujuannya untuk menarik simpati publik.
Kubu Megawati, tanpa sadar, digiring masuk perangkap, karena tidak jeli melihat permainan politik SBY yang cantik ini. Hal ini terutama tercermin dari ucapan-ucapan yang keluar dari kubu Megawati.
Dalam konflik Mega-SBY, SBY berhasil menciptakan opini publik, ia telah dizalimi oleh Mega; Mega dipojokkan sebagai pemimpin yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap pembantunya, SBY. “Dan SBY pun berhasil gemilang “mengibuli” media massa, sedemikian rupa akhirnya mayoritas media massa berpihak kepada SBY,” tulis Prof Tjipta seperti ditulis detikcom.
Akibat dari strategi ini, begitu SBY terjun berkampanye, sambutan massa pun gegap gempita. “Rakyat seolah-olah menyambut seorang pahlawan yang baru saja dizalimi oleh penguasa otoriter bernama Megawati Soekarnoputri!” tulis Prof Tjipta.
Menurut Prof Tjipta, bukti SBY memelihara konfliknya dengan Megawati hingga saat-saat terakhir tampak dari pernyataan-pernyataan dan dua pucuk surat yang dikirimkan SBY kepada Presiden Megawati. Surat pengunduran dirinya sengaja dikirim pada saat yang kritis. Dan hanya 2 hari setelah mundur, SBY kampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat, lalu keliling Nusantara untuk kampanye.
“Apakah kampanye di Banyuwangi pada 13 Maret (2004) hanya suatu koinsidensi? Mustahil! Jadwal kampanye itu pasti sudah dibuat jauh hari sebelumnya, ketika SBY masih “disibukkan” oleh perseteruannya dengan Megawati, ketika SBY masih beretorika “untuk mengkonsultasikan dan menemukan solusi sebetulnya pelaksanaan tugas saya sebagai Menko Polkam” (surat SBY pada Mega, 9 Maret-red)...” tulis Prof Tjipta di halaman 308.

Selanjutnya Prof Tjipta menulis:
“In restrospect, wajar kalau Megawati benci, bahkan benci setengah mati pada SBY. In restrospect pula, Megawati kemudian pasti sadar sesadar-sadarnya bahwa ia telah dijebak oleh SBY. Itulah sebabnya kenapa SBY tidak pernah mau terbuka ketika ditanya kesiapannya mencalonkan diri dalam Pemilu 2004. Ia memilih timing yang tepat untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya, yaitu ketika opini publik sudah memvonis Megawati sebagai presiden yang telah memperlakukan salah satu menterinya, Menko Polkam, secara tidak adil dan sewenang-wenang yaitu me-nonjob-kan SBY selama berbulan-bulan.”

Seharusnya Mega Tahu
Konflik mereda setelah SBY mundur sebagai Menko Polkam dan menjadi capres dari Partai Demokrat (PD) pada 11 Maret 2004. SBY lalu maju Pilpres dan menjadi pemenang. Sedangkan Megawati sakit hati dan merasa ditikam dari belakang karena SBY tidak terbuka padanya maju sebagai capres semasa menjadi anak buahnya.
Padahal seharusnya Megawati sadar, SBY mengincar kursi presiden sejak 2001, setelah kalah dalam pertarungan memperebutkan kursi wapres di DPR. Kala itu Megawati menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Hamzah Haz-lah yang terpilih sebagai wapres.
Kalah dalam pertarungan itu, SBY berinisiatif mendirikan PD. Sebuah kendaraan politik untuk mengantarkan SBY menduduki tampuk kekuasaan.
“Waktu itu kami berdiskusi, ikut partai besar atau membuat partai baru. Kita putuskan untuk membentuk partai sendiri. Kemudian beliau (SBY) bilang ‘Saya berikan nama Partai Demokrat,’ ujar salah satu pendiri PD, Thonty Bahaudin, kepada detikcom, Senin (16/3)
Menurut Thonty yang telah keluar dari PD ini, pertemuan tersebut terjadi pada 12 Agustus 2001 malam di Hotel Hilton (kini The Sultan), Jakarta Pusat (Jakpus). Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan yang menjadi sejarah dimulainya kejayaan PD itu.
Mereka di antaranya adalah SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, Thonty Bahaudin, Adhyaksa Dault, Kolonel Kurdhi Musthofa, M Yasin (Letjen M Yasin, keluar dari PD dan mendirikan Pakar Pangan-red), dan Ventje Rumangkang (keluar dari PD dan mendirikan Partai Barnas-red). PD diresmikan pada 12 September 2001.
“Niat awalnya memang untuk mengantarkan SBY menjadi presiden. Ibu Mega seharusnya sudah sadar waktu itu, ada apa ini mendirikan partai?” jelas Thonty.
Keinginan SBY untuk mencapreskan diri, lanjut Thonty, sudah matang. Jikalau pun SBY terkesan diam-diam dan belum mau terbuka, itu merupakan strategi pria asal Pacitan, Jawa Timur, ini.
SBY menunggu saat yang tepat. Dan momentum pun tiba ketika terjadi perseteruan politik yang cukup emosional antara SBY dan Megawati. SBY kemudian tampil ke publik sebagai ‘pembantu’ presiden yang terpinggirkan.
“Itulah sikap politisi yang sesungguhnya. politik itu kan nggak hitam putih. Dan Ibu Mega kena taktik politik SBY. Beliau (Megawati) kurang waspada,” kata Thonty.
Kalangan elit PD, lanjutnya, juga sudah tidak sabar menanti SBY hengkang dari kursi Menko Polkam. Setelah SBY Mundur, tekad untuk memenangkan SBY di ajang pilpres makin membesar. Seluruh elemen PD berjuang mati-matian untuk menjual SBY.
“Saya menciptakan slogan SBY (Selamatkan Bangsa yang Besar ini). Kita sebut SBY sebagai pendiri Partai Demokrat, dan sebagainya,"kata Thonty.

Kronologi Konflik SBY-Mega
BENIH-benih konflik Mega-SBY bermula pada 2003, saat muncul isu SBY akan maju sebagai capres. Setelah itu perseteruan mengerucut hingga akhirnya Mega enggan bertemu atau bicara dengan eks anak buahnya itu.
Berikut ini kronologi konflik keduanya, disarikan dari buku Prof Tjipta Lesmana Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa:

Akhir 2003: Santer beredar isu Menko Polkam SBY akan maju dalam Pilpres 2004. SBY sering muncul dalam iklan di TV untuk sosialisasi pemilu. Karena banyak protes, KPU menghentikan tayangan itu. Kubu Mega mencium ‘aroma politik’ SBY dan mengucilkannya.

1 Maret 2004: Sesmenko Polkam Sudi Silalahi menyatakan, SBY merasa dikucilkan oleh Presiden Megawati dengan tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Istana menjawab, saat itu SBY ada di Beijing. ‘Perang mulut’ kedua kubu pun dimulai. Taufiq Kiemas menyebut SBY ‘jenderal kok kayak anak kecil’.

9 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, isinya konsultasi tugasnya sebagai Menko Polkam. Mega tak membalasnya.

11 Maret 2004: SBY mengirim surat pada Megawati, mengundurkan diri sebagai Menko Polkam.

13 Maret 2004: SBY berkampanye di Banyuwangi untuk Partai Demokrat.

16 September 2004: ‘Debat capres’ di televisi. Mega berpesan pada panitia bahwa tidak ada acara jabat tangan antar sesama capres.

5 Oktober 2004: Hari TNI ke-59, Presiden Megawati berpesan agar semua pihak legowo menerima hasil pilpres. Mega meneteskan air mata.

Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa pemenang pilpres adalah SBY. SBY hadir dalam HUT TNI itu dan menjadi ‘bintang lapangan’. Tempat duduk SBY dan Mega diatur sedemikian rupa sehingga keduanya tidak berjumpa.

20 Oktober 2004: SBY membacakan sumpah presiden. Mega yang diundang menolak datang dengan alasan agar khusyuk mendoakan acara SBY itu berjalan lancar. Faktanya, Mega memilih berkebun dan membaca buku di rumahnya di Kebagusan, Jaksel.

20 Oktober 2004 sore: Mega mengundang warga sekitar dan kader PDIP untuk buka puasa di Kebagusan. “Saya katakan, kita bukan kalah (dalam pemilu), tapi kurang suara. Jangan merasa kita kalah, kita hanya kekurangan suara!” pidato Mega kala itu.

Saat Mega bertanya apakah kader PDIP siap merebut kembali ‘kursi’ yang lepas itu, hadirin menjawab, “Siaaap!”

Tahun 2005: Indonesia menjadi tuan rumah Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika. Presiden SBY mengutus Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro untuk menyampaikan undangan pada Mega, sebab Purnomo dinilai dekat dengan Mega.
Mega menolak menerima Purnomo.(Harian Singgalang)

Selasa, 17 Maret 2009

Sss...Penari Telanjang Batam Diciduk


Dua wanita muda yang bekerja sebagai penari telanjang diamankan jajaran Dit Reskrim Polda Kepri di Karaoke Horizona, Nagoya, Kamis (12/3) pukul 23.00 WIB. Polisi hanya menangkap kedua tersangka, maminya kabur. Tersangka dijerat undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Penangkapan penari telanjang berinisial LS (23) dan NH (24) berawal dari informasi masyakrakat ke polisi maraknya aksi tarian telanjang. Informan itu juga memberikan informasi tentang mami yang bisa menyediakan penari telanjang. Polisi pun melakukan penyamaran dan memesan dua cewek tersebut melalui maminya.

Dua tersangka kemudian datang ke Karaoke Horizona. Polisi langsung menciduknya. Tersangka mengaku tarifnya Rp400 ribu per jam. Itu belum termasuk uang tips. Lokasi pertunjukkannya bisa tergantung pemesan. Dari pengakuan tersangka, mereka sudah melakukan pekerjaan ini sejak setahun yang lalu.

Kasat I Dit Reskrim Polda Kepri, AKBP Hermansyah mengatakan, mami kedua penari telanjang itu berhasil kabur dan statusnya masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Penyamaran anggota berhasil. Setelah dipesan sama maminya, dua cewek itu mau datang," kata Hermansyah di ruangan kerjanya, Selasa (17/3) kemarin.

Meski ditangkap di Karaoke Horizona, tapi pihak karaoke tak terlibat masalah ini. Mereka tak menyediakan jasa tarian telanjang. Tersangka beroperasi di sejumlah tempat hiburan untuk menjerat calon pemesan.

Ia meminta kalau masyarakat mendapat informasi adanya aksi tarian telanjang di tempat hiburan atau tempat lain, bisa melapor ke polda."Ini meresahkan. Aksi tarian bisa ditindak, penyedia atau pelakunya," ujarnya.

Tersangka LS dan NH dijerat Pasal 36 UU NOmor tahun 2004 tentang Pornografi. ancaman hukumannya tak main-main. Pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar.**

Senin, 16 Maret 2009

Andaikan JK Lewat Jalan Baloi


Bagi warga Batam yang sering bepergian lewat jalan Baloi Mas, pasti geram dengan kerja pemerintah. Jalan besar di tengah kota berubah seperti sungai yang mengering. Sulit mencari aspal tersisa. Lubang menganga dan batu berserakan. Sungguh ironis !

Kalau lah jalan itu berada di daerah pinggiran, seperti halnya kawasan tinggal saya di Tanjungpiayu atau pun Tanjunguncang, mungkin masih diterima akal alasan jalan tak kunjung diperbaiki. Jalan Baloi, jalan utama yang dilewati kenderaan berat dari Batuampar- Sekupang dan sebaliknya.

Jalan itu juga pintu masuk ke kawasan bisnis utama di Batam, Nagoya dan Jodoh. Kenyataannya, jalan itu entah kapan musim pabila diperbaiki. Otorita Batam (OB) dan Pemko Batam bukannya berlomba mengerjakan malah saling tolak. OB menyebut itu kewenangan Pemko, sebaliknya Pemko Batam jalan itu tugas OB.

Kalau jalan rusak itu bisa bicara, mungkin dia protes kepada keduanya. Tak penting siapa yang melakukannya, tapi yang utama jalan harus diperbaiki. Tahun terus berganti, jangan sampai proyek perbaikan jalan itu menjadi proyek Insyallah.
'Insyahllah dalam tahun ini jalan Baloi diperbaiki'. Jangan sampai kata-kata itu terus keluar dalam pejabat Batam yang tebal hati dan dipekakkan telinganya.

Pada siapa lagi harus berharap. Kalau boleh berandai, kalau Wapres Jusuf Kalla melewati jalan itu dalam setiap kunjungan ke Batam, bisa dipastikan jalan itu bakal mulus. Jalan dijamin licin, sebelum orang kuat republik itu datang. Atau kalau masih bandel, siap-siapkan kena semprot. 'Kok jalan Batam begini'. **

Kamis, 12 Maret 2009

Bangga Bisa 'Menaklukan' Pilot (Jaenal Arifin)

Tukang parkir kenderaan mungkin dianggap sepele dan gampang. Tapi kalau yang dipandu untuk diparkir pesawat, itu luar biasa. Jadi juru parkir pesawat (marshaller) butuh keahlian khusus.
------------------------
Deretan pesawat bisa tertata rapi di apron (area parkir pesawat) Bandara Hang Nadim setiap hari.Saat pesawat datang yang melaju dalam kecepatan lambat, pilot seperti takluk diatur seorang yang berada di depan pesawatnya. Dengan teratur dan cermat, dia memberi petunjuk sampai pesawat parkir dan mesinnya dimatikan. Inilah marshaller, juru parkir pesawat.

Di Hang Nadim, ada puluhan marshaller. Semua maskapakai penerbangan punya marshaller. Selain itu ada pula marshaller dari perusahaan pengelola Ground Handling. Tak ketinggalan, Apron Movement control (AMC) Hang Nadim juga punya 15 petugas yang punya lisensi sebagai marshaller.

Salah satu marshaller dari AMC adalah Jainal Arifin (46) yang saat ini menjabat Kepala Unit (Kanit) AMC Hang Nadim. Sejak 1994, pria asal Sumedang ini sudah bertugas di AMC. Piping, sapaan akrabnya sudah bekerja di Hang Nadim sejak 1984.
Selaku Kanit AMC, Piping mengaku sudah jarang turun memandu parkir pesawat. Kebanyakan parkir pesawat diurus marshaller dari maskapai penerbangan dan pengelola ground handling. "Kalau diminta, kita siap turun. Namanya marshaller siap ditugaskan kapan pun," kata Piping sambil menunjukkan Aircraft Marshaller License miliknya yang dikeluarkan Departemen Perhubungan, kemarin di kantornya.

Tak mudah, katanya jadi marshaller. Dia harus pandai berkomunikasi secara baik dengan pilot dan bisa memandu pesawat ke apron yang sudah ditentukan. Kalau ada garbarata, katanya marshaller memandu agar pintu pesawat bisa pas sehingga penumpang bisa nyaman untuk turun.

Seorang marshaller berpengalaman, kata Piping, bisa mengetahui jenis pesawat apakah cocok dengan garbarata yang ada di bandara atau tidak. Kalau tak cocok, terpaksa penumpang naik dan turun tanpa melalui garbarata. Kalau dipaksakan, bisa terjadi insiden berbahaya.

Soal ini dia pernah punya pengalaman menarik. Kejadiannya saat itu dia memandu pesawat Pelita Fokker 100 untuk parkir di apron Hang Nadim. Ternyata pesawat tak cocok dengan garbarata yang ada. Piping dan teman-temannya bersama pilot memaksakan agar bisa pakai garbarata. "Terjadi insiden. Saya terjepit di ujung garbarata," ujarnya.

Agar bisa menjadi marshaller, seseorang harus mengikuti diklat. Dalam diklat itulah dipelajari tanda-tanda standar untuk memarkir pesawat. Meski pendidikan formalnya hanya sekolah menengah atas, namun Piping sering mengikuti diklat AMC, termasuk diklat marshaller. Ia pernah mengikuti diklat di Medan tahun 1994, diklat di Palembang dan diklat garbarata di Batam.

Pendidikan AMC, katanya tiga bulan. Barulah kemudian mengikuti tes jadi marshaller.
selain tes tertulis, juga tes fisik. Mustahil kalau kondisi fisik, tak bagus bisa lolos. "Kalau lulus baru dapat lisensi atau sertifikat. Masa berlakunya dua tahun. Kemana-mana harus dibawa, seperti halnya SIM untuk mengemudi," ujarnya.

Dari pendidikan barulah didapatkan pengetahuan memandu pesawat.Aba-aba yang diberikan marshaller dimulai saat pesawat memasuki area apron. Tempat parkir telah diatur AMC, marshaller tinggal mengarahkan. Setelah memastikan posisi lokasi parkir ke AMC, marshaller datang menuju lokasi parkir.

Setelah memastikan pesawat, marshaller mulai melambaikan tangan menunjukkan pilot bahwa di tempat itulah tempat parkir pesawatnya. Setelah pilot dan marshaller berkomunikasi, marshaller memberikan aba-aba. "Banyak aba-abanya. Pilot mengerti dengan aba-aba yang kita berikan," katanya.

Marshaller bisa memerintahkan pilot untuk maju dan gerakan lainnya. Termasuk pula jika posisi parkir pesawat sudah pas, marshaller bisa menyuruh pilot berhenti dan mematikan mesin. Lalu menganjal roda pesawat. "Aba-abanya bisa dengan alat seperti bet pingpong. Kalau cuaca buruk bisa pakai lampu," ujarnya. (dea)

Selasa, 10 Maret 2009

Awaloeddin Djamin, Sang Jenderal Intelektual


Meskipun telah lama pensiun dari dinas kepolisian, Awaloeddin tetap memperhatikan intitusi yang telah membesarkan namanya. Awaloeddin pun kerap memberi masukan atau kritik, diminta atau tidak, kepada para petinggi Polri. Awaloeddin memang salah seorang polisi yang intelek. Ia adalah polisi pertama di Indonesia yang mendapat gelar profesor doktor.

Pada 12 Juni 1982, ia dikukuhkan sebagai guru besar tidak tetap pada Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Pidato pengukuhannya berjudul Praktek Administrasi Negara Republik Indonesia dan Perkembangan Ilmu Administrasi.

Menurutnya, kemampuan Polri kini sangat tidak memadai, baik dalam hal jumlah, profesionalisme, kecanggihan peralatan dan sebagainya. Sehingga berbagai kasus kejahatan mulai dari uang palsu, narkoba, dan teror bom, sangat sukar dibongkar oleh Polri.

Mengenai aksi teror bom, Awaloeddin menyatakan, itu memang persoalan yang sulit, bahkan sampai pada tingkat dunia pun tidak gampang membongkar kasus teror. "Semua itu membutuhkan kecanggihan teknis, di samping keberanian masyarakat yang berada di lokasi peristiwa untuk melapor," katanya.

Menurut mantan anggota MPR (1966-1971) itu, oleh orde baru mutu Kepolisian Indonesia jauh merosot dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika Indonesia pernah menganut sistem federal, aparat kepolisian berbanding 1 dengan 500 warga dan hal itu memenuhi standar PBB. Namun, sejak orba atau lebih 30 tahun, perbandingan antara polisi dengan masyarakat 1 berbanding 1200 orang. Perbandingan tersebut sangat tidak ideal.

Ia mengatakan, momentum reformasi yang memisahkan anggota Polri dari TNI adalah langkah awal untuk membenahi kemandirian aparat kepolisian. Salah satu yang harus ditempuh pemerintah agar polisi menjadi mandiri adalah aparat kepolisian langsung dibawah Presiden RI. Kedua, masalah anggaran juga harus dipercaya penuh kepada Polri.

Pada peluncuran bukunya yang berjudul Polri Mandiri Yang Profesional, Pengayom, Pelindung, Pelayan Masyarakat, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, mantan Kapolri ini mengatakan, polisi Indonesia adalah polisi nasional yang tidak memihak kepada golongan manapun. Aparat kepolisian adalah penegak hukum dan memberantas segala macam bentuk kejahatan.

Karena itu, ia tidak sepaham jika diterapkan sistem pengangkatan Kapolda dipilih oleh anggota DPRD. Sebab dikhawatirkan aparat kepolisian akan dijadikan alat setiap parpol untuk menghantam lawan politiknya.

Awaloeddin lahir di Padang, Sumatera Barat, 26 September 1927. Sebelum mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), ia sempat terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia selama setahun. Putra sulung Pak Djamin ini lulus PTIK tahun 1955. Awaloeddin tampaknya bukan orang cepat merasa puas dengan ilmu yang diperolehnya. Ketika ada kesempatan, ia mengikuti program Graduate School of Public and International Affair di Universitas Pittsburg, AS, dan mendapat gelar MPA. Gelar doktor ia peroleh dari School of Public Administration, Universitas California Selatan pada 1963.

Karirnya sebagai polisi diawali sebagai Komisaris Polisi Tingkat I, Jawatan Kepolisian Negara, Jakarta tahun 1955. Namun, untuk mencapai posisi puncak sebagai Kepala Polri tahun 1978-1982, ia melewati berbagai tugas dan jabatan tidak hanya di lingkungan kepolisian. Selain pernah menjadi anggota DPR, ia juga sempat menjadi menteri tenaga kerja tahun 1966-1968. Bahkan, sebelum ditarik untuk memimpin Polri, ia lebih dulu menduduki posisi Duta Besar untuk Jerman Barat periode tahun 1976-1978. Tak heran, sebelum pelantikan ia sibuk mempersiapkan diri dan latihan baris-berbaris. Sebelum acara pelantikan oleh Presiden, Menhankam (waktu itu) Jenderal Jusuf sempat berseloroh, ''Bagaimana, sudah pintar baris-berbaris?''

Suami Poppy -- putri Almarhum Ir. Djuanda – itu dilantik sebagai Kepala Kepolisian RI pada 26 September 1978. Saat itu kondisi kepolisian di Tanah Air tengah dirundung berbagai masalah. Antara lain, citra hamba hukum ini di mata masyarakat kurang menggembirakan. Setelah mempelajari situasi dengan saksama, jenderal lulusan ilmu administrasi ini mengeluarkan berbagai kebijaksanaan dalam rangka membenahi Polri. Ribuan anggota Polri yang ketahuan melakukan pelanggaran ditindak tegas. Sistem keamanan lingkungan (siskamling) --gagasan yang mengikutsertakan masyarakat menjaga keamanan lingkungannya-- berhasil meredakan kejahatan di lingkungan pemukiman.

Ketika merebak wacana pemisahan Polri dengan TNI dan Dephankam, disambutnya dengan baik. Pemisahan ini, kata Awaloeddin, adalah sebuah keharusan. Sebab, sejak Polri berada di bawah ABRI/TNI tahun 1969, Polri lebih banyak menderita kerugian, daripada keuntungan. Kerugian itu bukan hanya dalam soal anggaran, juga dalam hal profesionalisme. Ia menunjuk contoh, selama bergabung dengan ABRI/TNI, personil Polri kurang memperoleh kesempatan untuk menimba ilmu ke luar negeri.

Dulu, papar Awaloeddin, Polri sebenarnya sudah mandiri, tidak ada yang bisa ikut campur. Pada sistem parlementer pun, Polri mandiri. "Puncak kemandirian Polri terjadi pada tahun 1950-an hingga 1969. Sayangnya, ini tidak banyak diketahui orang," ujar mantan Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini.

Pada masa kecilnya, ia terdaftar sebagai anggota Tentara Pelajar (TP) dan bergerilya di kawasan Koto Tinggi dan sekitarnya, di Sumatera Barat. Setelah Aksi Militer Kedua, Pemerintah Darurat RI (PDRI), atas mandat pusat, melanjutkan perjuangan dengan cara bergerilya sekaligus berpangkalan di daerah itu. Awaluddin bergabung, sekalipun, seperti dikatakannya sendiri, ''Saya apalah waktu itu, masih ingusan."

Awaloeddin menerima berbagai bintang penghargaan dari dalam dan luar negeri. Dari pemerintah RI ia mendapat Bintang Bhayangkara Nararya, Satya Lencana Peringatan Kemerdekaan RI, dan Bintang Mahaputra Adiprana. Dari Filipina ia menerima The Philippine Legion of Honor. Dari Republik Federasi Jerman ia mendapat Tanda Kehormatan Grosskreuz Des Bundesverdinsterdens. (berbagai sumber)

Singa Wanita Dari Serambi Mekah


Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya.

Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud.

Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara.

Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik.

Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga. Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam.

Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya.

Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.

Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum).

Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA.

Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr a Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM).

Kiprah di parlemen
Pada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam.

Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro.

Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987.

Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya.

Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar.

Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP. Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru.

Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar.

Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya. Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas.

Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis.

Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen.

Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan.

Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah.

Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi.

Masih dipercaya
Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan.

Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal 'berat' dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan.

Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya.

Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi. Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno.

Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR.

Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945.

Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.

Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. (cimbuak.net)

Syekh Muhammad Jamil Jambek (Pembaharu dari Minang)

Ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad 20 ini dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.

Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.

Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.

Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.

Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padangpanjang).

Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.

Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau. Yakni, Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.

Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat isra mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padangpanjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid.
Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.
Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Rabu, 04 Maret 2009

Dwiki Darmawan Konser di Danau Singkarak


Musik dan pariwisata bisa saling mendukung. Itu yang ingin dibuktikan oleh Dwiki Darmawan. Membuat konser di Danau Singkarak, diharap membantu mempromosikan salah satu obyek wisata di Sumatra Barat tersebut.

Kalau selama ini konser digelar di gedung mewah, lain dengan yang dilakukan Dwiki Darmawan. Pada 29-31 April nanti, Dwiki berencana membuat konser di Danau Singkarak, Sumatra Barat. Konser itu diberi nama Tour D'Singkarak 2009. The Soul Of Minangkabau.
"Ini konser yang unik. Karena menampilkan dialog multikultural. Menampilkan musik orkestra yang dipadu dengan musik tradisional Sumatra Barat." kata Dwiki Darmawan.

Dwiki merasa yakin, konser yang digelarnya mampu mengangkat promosi Danau Singkarak. "Ya, saya ingin mengangkat potensi Singkarak lewat musik," tegasnya.

Konsernya ini diperkuat oleh barisan artis yang masing-masing akan menyanyikan 3 buah lagu Minang. Diantaranya Andien dan Iis Dahlia.(net)