SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Sabtu, 31 Januari 2009

Karya Anak Batam


Batam menampilkan tiga produk Teknologi Tepat Guna (TTG) dalam gelar TTG Nasional X di Semarang, 30 Oktober-4 November 2008.Tiga produk tersebut adalah alat pemberi ikan otomatis, komposter dan web attandance system.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat (PMK) Koperasi dan Usaha Kecil Menengah ( PMK KUKM) Batam mengajak penemu alat tersebut ke acara gelar teknologi ini. Alat pemberi ikan otomatis penemunya Rina Hetty Sitorus, alumni Politeknik Batam. Alat tersebut dikembangkan lagi oleh Abdullah Sani yang saat ini menjadi intruktur di labor Politeknik Batam. Sedangkan, komposter dibuat oleh Sonson, pelaku usaha kecil di Batam.

Dalam gelar TTG ini, stan Batam bergabung dengan daerah kabupaten/kota lainnya di Kepri, seperti Tanjungpinang, Bintan, Karimun, Natuna dan Lingga. Namun Batam yang terbanyak mengikutsertakan produk TTG. Natuna dan Bintan hanya satu produk. Tanjungpinang, Karimun dan Lingga memamerkan hasil kerajinan dan makanan.

Rina Hetty Sitorus yang menemukan alat pemberi ikan otomatis mengatakan, alat tersebut hasil karyanya saat menyelesaikan tugas akhir di D3 Politeknik Batam jurusan Teknik Elektronik awal tahun 2008 lalu.
”Saya yang menemukan, tapi dikembangkan Pak Sani dan Sumatri, dosen Poltek Batam,” ujarnya.

Menurut Abdullah Sani yang mengembangkan alat ini, kelebihan alat yang harganya sekitar Rp800-an ribu ini adalah dapat memberi makanan ikan secara otomatis dan pemiliknya tak perlu khawatir lupa memberi makan ikan. Pasalnya, alat secara otomatis memberi makan ikan dengan sendiri karena sudah diprogram.

Selain itu, alat ini menggunakan sumber tenaga dari baterai kering sehingga jika listrik mati alat ini masih berfungsi. Baterainya 12 VDC. ”Kita gunakan real time clock sehingga waktunya akurat. Alat ini juga dapat menyimpan memori memberi makan ikan sampai 30 tahun,” kata alumni Politeknik Batam ini.

Komposter atau alat pembuat kompos diciptakan Sonson tahun 2007 lalu. Alatnya terbuat dari mesin cuci rusak yang diolah menjadi alat pembuat kompos. Cara pembuatan komposnya bisa elektrik dan manual.
”Batam sangat menjanjikan. Banyak sekali alat elektronik bekas yang tak terpakai. Saya pakai mesin cuci,” kata Sonson.

Kata Sonson, komposter dengan sistem elektrik harganya sekitar Rp1,4 juta, sedangkan manual Rp500 ribu. Pupuk kompos sudah jadi dalam waktu lima hari dengan sistem elektrik dan tujuh hari kalau pakai sistem manual. ”Komposter ini sudah banyak dipesan orang. Di Batam ada sekitar 500-an unit,” kata laki-laki asal Jawa Barat ini.

Satu lagi alat yang ditampilkan adalah web attandance system. Alat ini dapat digunakan untuk absensi di perusahaan atau sekolah. Pemilik ID card cukup mendekatkan ke web attandance, ID card tercatat. Apabila sesuai, alat akan menyimpan jam dan tanggal saat IC card masuk.
”ID card jadi multifungsi. Tak hanya kartu pengenal, tapi juga untuk absensi. Politeknik Batam sudah pakai sistem ini,” kata Abdullah Sani, instruktur labor Politeknik Batam.

Dalam Gelar TTG X yang dibuka presiden Susilo Bambang Yudhoyono,Kamis (30/10) terdapat 385 stan yang memamerkan produk-produk berteknologi tepat guna dari tiap provinsi. Produk yang ditampilkan daerah lain, antara lain kompor bioetanol, pembangkit listrik tenaga angin, alat penggiling padi dan traktor.

Pesertanya terdiri atas tujuh departemen, lembaga penelitian, perguruan tinggi (PT), kelompok masyarakat, 33 provinsi se-Indonesia, BUMN, BUMD, dan dunia usaha.***

Rabu, 28 Januari 2009

Ahmad Dahlan, Aris dan PS Batam

Bicara sepakbola Batam, takkan ada habis-habislah. Sayang, fokusnya bukan prestasi melainkan nasib Persatuan Sepakbola (PS)Batam nasibnya yang tak jelas. Stratanya tak naik-naik, malahan hampir terancam turun ke Divisi III PSSI. Sungguh ironis, sebuah kota yang begitu populer hanya mampu melahirkan klub sepakbola yang berlaga di Divisi II.

Pecinta sepakbola Batam tentunya mengimpikan bisa melihat langsung klub-klub terbaik Indonesia berlaga. Tak hanya di layar kaca, tapi bisa menyaksikan Bambang Pamungkas, Boaz Salossa atau pemain-pemain idola lain memperlihatkan keterampilannya mengolah bola di Stadion Temenggung Abdul Jamal. Semuanya mustahil dengan kondisi sekarang. Kasta sepakbola Batam kalah
jauh.

Siapa yang harus disalahkan? pengurus PS Batam jelas harus bertanggungjawab. Susah-susah mantan pemain nasional Jessie Mustamu mengangkat tim kebanggaan Kepri ini ke Divisi II tahun 2005 lalu. Tapi, ditangan kepengurusan baru PS Batam yang dipimpin Aris Hardy Halim, PS Batam tak ikut berlaga dalam kompetisi Divisi II PSSI tahun 2008lalu. Alasannya klise, tak punya
dana.

Saat itu pengurus PS Batam telah melakukan malam penggalangan dana. Namun, malam penggalangan dana untuk persiapan PS Batam berlaga di Divisi II wilayah Sumatera itu gagal mencari dana yang ditargetkan. Pengurus PS Batam menargetkan dana sekitar Rp1 miliar. Dengan alasan tak ada ini pula, pengurus PS Batam memutuskan PS Batam tak ikut kompetisi. Sedangkan lawannya di grup yang sama, seperti PSPP Pandangpanjang yang juga minim dana, tetap ikut berlaga.

Wali Kota Batam Ahmad Dahlan yang juga Ketua Umum PSSI Batam hanya diam dan tak turun tangan mencarikan solusi agar PS Batam bisa bertanding. Sangat disayangkan, tak sulit mencarikan dana ratusan juta, bahkan Rp1 miliar jika Dahlan turun tangan.

Tinggal melobi sana-sini, uang Rp1 miliar diyakini gampang diraih. Ini masalah kemauan. Wako tak hobi bola, meski jabatannya mentereng Ketua Umum PSSI Batam. Jadinya nasib PS Batam dibiarkan terlantar. Setali tiga uang, Ketua Umum PS Batam yang baru, Aris Hardy Halim yang sehari-hari menjabat Wakil Ketua DPRD Batam tak bisa berbuat banyak. Sama dengan wako, Aris juga tak hobi dan pengalaman mengurus bola. Jabatan tinggal jabatan, PS Batam tinggal nama.

Soal potensi pemain sepakbola, Batam tak kalah. Jessi Mustamu pun memuji minat warga Batam terhadap sepakbola. Kultur sepak bola di Batam, katanya juga sangat kental. Hampir 90 persen perusahaan di sana memiliki klub sepak bola. Sayangnya, pemain-pemain level perusahaan itu hanya berkiprah sampai level kota Batam. Nyaris tak ada pemain yang bermain merumput ke luar daerah belakangan ini. Apalagi tak satu pun klub di Kepri yang berlaga di level Divisi II PSSI, kecuali PS Batam.

Kini saatnya, struktur pengurus Pengcab PSSI Batam dan PS Batam harus dirombak. Tak perlu jabatan wako untuk jadi ketua PSSI. Demikian juga Aris harus legowo mundur sebagai ketua umum PS Batam. Keduanya jelas tak punya kapasitas. Ganti saja dengan orang lain yang peduli sepakbola Batam. Masih banyak tokoh atau pejabat di Batam yang gila bola dan bisa memimpin PSSI Batam dan PS Batam. Jika dibiarkan nasib PS Batam akan mati suri. Sepakbola Batam selalu berkutat pada level perusahaan. ***

Minggu, 25 Januari 2009

Kenangan Rida Cup 2008 (Medan) dan 2007 (Pekanbaru)


Janji Perubahan

Simaklah iklan-iklan politik atau pun atribut kampanye yang ada saat ini. Parpol dan caleg selain menjajakan diri, juga menawarkan janji. Macam-macam janjinya, mulai dari menurunkan sembako, harga BBM atau pun memakmurkan masyarakat. Kalau soal ini boleh berbeda-beda, tapi ada bahasa mereka yang sama. Sama-sama menjanjikan perubahan.

Caleg atau pun parpol kita tak mau kalah dengan Barrack Husein Obama yang dalam setiap pidatonya selalu menjanjikan perubahan. Setiap iklan dibuat kata-kata yang bombastis yang berbau ajakan. Misalnya, saatnya berubah, pilih yang bisa membuat perubahan atau perubahan akan datang.

Baliho caleg juga sarat dengan kata-kata perubahan. Malah ditambah lagi dengan kata-kata lain yang bisa mengundang tawa. Banyak caleg yang menyebut dirinya profesional, intelektual, amanah, muda, pejuang buruh atau sebutan lain. Mereka menjanjikan bisa membuat perubahan jika terpilih.

Betapa aneh, masak caleg menilai diri sendiri. Harusnya yang menilai orang lain. Apakah benar caleg itu muda, profesional, amanah, pejuang buruh atau intelektual. Apanya yang mau diubah. Nasib caleg atau nasib masyarakat yang memilihnya. Hasrat menggebu menjadikan caleg-caleg itu tak realistis.

Tak hanya janji perubahan yang perlu diusik. Lihat juga gaya masing-masing caleg di atribut yang mereka pasang. Ada yang bergaya dai, bergaya pemikir seperti Plato, mengacungkan jari seperti orator atau pun meniru gaya pemain sepakbola.

Tak ada yang ada salah. Semua boleh-boleh saja. Duit, duit mereka. Kalau kalah, mereka juga menanggung. Termasuk kalau ada yang stres atau gila, tinggal dilarikan ke rumah sakit jiwa terdekat. Tak ada di Batam, ada di Pekanbaru. Siapa yang duluan ke sana ? **

Kamis, 22 Januari 2009

Antara SBY, Mega, Bung Karno dan Yusril

Pagi kemarin saat ditanya teman soal apa yang menarik dari ribuan atribut parpol dan caleg yang dipasang dari jalan utama sampai ke jalan buntu di perumahan yang ada di Batam. Saya menjawab, tak ada yang istimewa. Isinya, tak ada yang beda. Sama-sama menjual
diri dan mengobral janji.

Teman itu punya pandangan yang berbeda. Ia minta saya melihat atau mengingat atribut caleg dari partai PDIP, Demokrat, PNI Marhaenisme, Pelopor dan sebagian atribut caleg Partai Bulan Bintang. Kata dia, caleg itu punya kesamaan. Calengnya
sama-sama tak ingin berfoto sendiri.

Di belakang foto caleg PDIP, katanya pasti ada foto Megawati. Sama, foto caleg Demokrat selalu bersanding dengan SBY. Kalau caleg PNI-M dan Pelopor hobi memasang foto Soekarno. Begitu juga dengan sejumlah caleg PBB yang tak ketinggalan
memasang foto Yusril Ihza Mahendra.
"Artinya caleg itu tak percaya diri. Masak foto sendiri disejajarkan dengan orang-orang besar ," kata teman itu bercanda.

Dipikir-pikir apa yang dilihat teman itu benar juga. Nyaris semua baliho atau spanduk caleg PDIP ada foto Mbak Mega. Lihat saja baliho Soerya Respationo, Kalper Sihotang, Jumaga Nadeak, Donald Sirait, Ganda Tiur dan baliho lain yang berukuran
jumbo. Ada foto Megawati yang dipajang di samping, di atas atau sejajar dengan foto caleg.

Pesaing utamanya tentu Demokrat. Foto SBY ada dimana-mana. Tak percaya, lihat saja baliho Hotman Hutapea, Jonly Panggabean, Irland Gusti, Suryadi Sardi, Jauhin Hutajulu dan caleg Demokrat lainnya. Foto SBY jadi pemanis.

Caleg PNI-M, Pelopor dan PNBK mengandalkan kebesaran Bung Karno Soekarno. Di baliho, spanduk atau gambar yang ditempel di belakang mobil, ada foto tokoh proklamator itu yang sedang berpidato atau foto dalam gaya lain. Bagaimana pula dengan caleg PBB. Ada foto bangYusril yang sedang tersenyum. Contohnya, baliho caleg PBB Erwandy Umar yang memasang fotonya bergandengan dengan Yusril di Simpang Baloi Centre.

Caleg-caleg yang tak memasang foto juragannya atau foto tokoh besar lain juga ada. Jarang sekali caleg Golkar yang memasang foto Jusuf Kalla, demikian juga caleg PAN yang tak kelihatan memasang foto Amien Rais atau Soetrisno Bachir.Caleg PPP juga tak memasang Surya Dharma Ali. Malah, caleg PKB yang biasa punya panutan banyak tampil solo. Tak ada foto Gus Dur atau Muhaimin Iskandar.

Semua cara boleh-boleh saja. Namanya dunia politik. Seperti kata teman saya , Cipi Cikandina. Namanya juga usaha. Kadang berhasil, kadang gagal.**

Senin, 19 Januari 2009

Reinhard dan Lapangan Bola


Bicara sepakbola Batam saya langsung teringat Reinhard Hutabarat. Dia mantan anggota DPRD Batam dari PDS yang di-PAW dan kini maju lagi jadi caleg. Partai pun baru, Barnas. Kebetulan, Senin (19/1) kemarin, saya bertemu Reinhard saat dia datang ke kantor KPU Batam di Sekupang.

Setelah bertegur sapa, mulailah Reinhard bicara soal program yang ingin diperjuangkannya jika ia kembali terpilih. "Tolonglah, muat program abang, biar didengar masyarakat," kata alumnus Atmajaya itu.

Ia ingin agar setiap kelurahan di Batam punya dua lapangan sepakbola. Inilah yang sering diusulkannya sejak duduk jadi anggota dewan. Dalam setiap forum, seperti Musrenbang, masalah lapangan bola selalu jadi usulannya. "Memang tak bisa berjuang sendiri. Tapi kalau tak ada yang mengusulkan, siapa lagi," ujarnya.

Dia berkisah impiannya membangun dua lapangan bola disetiap kelurahan diilhami masa kecilnya yang dibesarkan di lokasi perkebunan milik pemerintah. Di sana, katanya anak-anak yang orang tuanya kerja di perkebunan bisa bermain dan berolahraga yang lapangannya disediakan perusahaan. 

Di Batam, kata dia, membangun lapangan bola yang banyak tak sulit asalkan ada kemauan. Otorita Batam dengan mudah memberikan alokasi lahan berhektar-hektar kepada investor. "Saya sering bilang sungguh banyak dosa pejabat OB. Lahan berhektar-hektar ada untuk investor. Tapi untuk lapangan bola dan sekolah tak ada,"katanya menyindir.

Reinhard mengaku hanya ingin agar anak-anak di Batam punya banyak tempat bermain yang gratis. Lapangan bola salah satu alternatif terbaik. Saat ini kenyataannya hal itu yang sulit diperoleh. "Coba sekarang main bola, di lapangan mana saja di Batam pasti bayar. Sekali main bisa Rp200 ribu, dari mana anak-anak miskin dapat uang sebanyak itu," ujar dia.

Pemain bola di dunia, termasuk di Indonesia, katanya banyak yang berasal dari keluarga miskin. Anak-anak miskin bisa menyalurkan bakatnya bermain bola. Kalau tak ada sarana,pelampiasannya, anak-anak bisa terjebak tindakan negatif. "Kenakalan remaja bisa diminimalisir jika remaja aktif di dunia olahraga," katanya yakin.

Soal perjuangannya ini, Reinhard mengaku siap disepelekan, diketawai atau didukung orang lain. "Bisa jadi kalau wali kota ketemu saya. Dia bilang, ini Reinhard yang stres itu. Selalu menyebut lapangan bola itu. Tapi biarlah," ujar caleg nomor urut satu DPRD Batam Dapil II ini.**



 

Kamis, 15 Januari 2009

Sebuah Permainan yang Tak Rapi

Retak tangan seseorang ditentukan tuhan, tanpa mengenyampingkan usaha atau ikhtiar. Jalan masa depan itu menunjuk dengan sendirinya. Termasuk juga dalam adu nasib menjadi pegawai negeri. Ada yang sudah mengikuti beberapa kali, tapi namanya tak kunjung keluar. Padahal usianya sudah terus menua. Ada juga yang baru lulus, sekali ikut tes, langsung jebol.

Ketimbang bicara soal pelamar yang lulus karena bernasib baik, benar-benar pintar atau lulus karena dititip, lebih menarik bercerita proses penerimaan CPNS Pemko Batam tahun 2008 lalu. Prosesnya sudah selesai dan telah tersaring sekitar 400-an pegawai dari tiga formasi, tenaga teknis, guru dan kesehatan. Meski sudah selesai, tapi masih ada sesuatu yang terasa menganjal, khususnya bagi saya.

Ditemulan 14 nama dari formasi guru yang dinyatakan lulus, meski yang bersangkutan tak masuk namanya dalam nama-bama pelamar yang lulus seleksi administrasi. Cukup aneh, orang yang tak lulus seleksi administrasi bisa mengikuti tes tertulis dan kemudian lulus. Siapa pula yang menjamin ke-14 nama itu ikut ujian dan nilainya lebih baik dari peserta tes lain.

Belakangan, panitia penerimaan CPNS Pemko Batam mengklaim ke-14 pelamar itu sudah lulus seleksi administrasi. Mereka lulus setelah melapor karena tak tercantum namanya saat kelulusan seleksi administrasi. Ini tak lazim karena sebelumnya belum pernah ada orang yang sudah dinyatakan tak lulus, kemudian melapor dan akhirnya dinyatakan lulus. Setahu saya dalam tes CPNS di instansi mana pun tak ada istilah, seleksi administrasi susulan. Tak lengkap, berarti gugur. Ini sudah resiko.

Herannya, panitia tak mengumumkan ke publik melalui media adanya pelamar yang lulus seleksi administrasi susula n. Alasannya klise, waktu mepet. Padahal masih ada waktu lebih seminggu sejak seleksi administrasi sampai ujian tertulis. Jelas ini menimbulkan kecurigaan, hal ini sengaja dipendam. Namun, namanya bau busuk, walau bagaimana pun menyimpan, akhirnya tetap tercium.

Setelah kasus ini mencuat, panitia penerimaan CPNS Pemko Batam tak bisa memberi penjelasan secara meyakinkan. Alasannya macam-macam, mulai dari human error atau kesalahan teknis. Wakil Wali Kota Batam Ria Saptarika juga angkat bicara. Tapi tetap saya jawabannya tak meyakinkan. Jawabannya dimulai dari kata, saya rasa.. saya pikir. Bukan dijawab dengan fakta dan menunjukkan dokumen ke wartawan.

Kepala BKD Pemko Batam Husnul Hafil yang dua pekan diam sejak kasus ini mencuat akhirnya memberi penjelasan resmi ke wartawan. Ia menerangkan, ada 35 pelamar yang lulus seleksi administrasi susulan dan menjamin semuanya ikut tes tertulis. Dari 35 pelamar lulus 14 orang. Husnul menjamin proses penerimaan CPNS Pemko Batam berlangsung secara fair. Husnul mengundang wartawan untuk konferensi pers soal ini di restoran Sri Rezeki Batubesar. Setahu saya, usai penjelasan Husnul, hingga saat ini tak ada lagi pemberitaan media massa di Batam soal kasus ini. Istilah hukumnya, kasusnya di-SP3.

Baru reda soal kasus ini, muncul lagi fakta menarik. Setidaknya ada tiga caleg yang lulus CPNS Pemko Batam. Menjadi caleg atau CPNS memang hak setiap orang, tapi paling tidak panitia harus selektif. Sejak awal sebenarnya bisa dilacak status pelamar, apakah aktif di parpol atau tidak. Tapi semuanya terpulang pada Pemko Batam, mau memilih yang mana. Mau memilih pelamar yang aktivis parpol, orang titipan atau benar-benar orang yang berkeringat untuk meraih badge Korpri itu.**

Selasa, 13 Januari 2009

Patah Hati dan Puisi

SENJA DI PELABUHAN KECIL

Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari: Deru Campur Debu (1949)


Puisi Chairil Anwar yang dipersembahkan bagi pecinta sejati yang patah hati. Siapa saja yang patah hati, bisa merasakan kesedihan. Teramat sedih yang diungkapkan Chairil tanpa ada bait sedih.***

Sabtu, 03 Januari 2009

Tahun Baru dan Hati Gelisah

Tahun baru bagi orang lain mungkin banyak makna. Ada harapan, ada pula target yang tentu lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi bagi saya tahun baru tak ada artinya. Tak ada istimewanya. Sama halnya dengan hari ulang tahun yang juga tak berarti bagi saya sehingga tak pernah dirayakan. Cukup hanya diingat.

Meski tak menganggap tak ada yang istimewa di momen tahun baru, bukan
berarti saya tak punya kisah di tahun baru. Cerita pertama terjadi tanggal 1 Januari 2002. Hari itu saya mulai terjun ke dunia entah berantah, mencari berita. Beberapa hari sebelumnya, saya diterima bergabung jadi reporter muda koran Semangat Demokrasi di Padang. Nah, penugasan pertamanya mulai tahun baru itu.

Bos saya waktu itu, Hidayat yang kini menjabat Wakil Ketua DPD PDIP Sumbar meminta para reporter muda yang baru bergabung untuk menulis berita tentang tahun baru dan kehidupan muda mudi mahasiswa di Kota Padang. Saya masih ingat orang pertama yang saya wawancarai bukan pejabat, tapi ketua RW di Ketaping, Kuranji. Beliau kebetulan juga ketua Muhammadiyah setempat.

Inilah awal semuanya menjalani hidup sebagai pencari berita. Walau berstatus reporter muda, bangganya bukan main. Maklum, saya saat ini baru kuliah tahun tiga. Gaji tak seberapa. Kami biasa tak menyebut gaji, tapi honor. Paling tinggi Rp125 ribu. Tapi hati senang saja menjalani. Soalnya, uang bulanan dari kampung juga tetap jalan he...he.

Sebulan pertama masuk, senior sesama reporter ganasnya minta ampun.Jangan coba-coba memakai komputer yang dipakainya, habislah kita kena semprot. Itu belum seberapa jika dibandingkan masuk ke wilayah liputannya, kita pun diusir. Pernah saya diajak teman wartawan lain jalan-jalan ke Balai Kota Padang dan ketemu salah seorang senior di sana. Ia marah besar karena saya masuk wilayah liputannya.

Delapan bulan di Semangat Demokrasi, kami reporter muda, antara lain Restu Pramona kini PNS Pemko Batam, Gusliyanti (Singgalang), Budi Satria, Zulfadli dan bang Novri kami banyak belajar. Di awal-awal, Budi dan Restu yang beritanya paling banyak. Baru saya dan Yanti. Bang Nov saat itu yang paling banyak mengeluh (he...he...sory bang). Saya dan Restu banyak dilatih bang Hidayat, sedang Budi, Yanti dan Zul lebih dekat dengan pemred pak Infai.

Saat koran Semangat Demokrasi tak bersemangat lagi alias mati, sekitar bulan Agustus 2002 saya pindah bersama beberapa rekan ke tabloid ekonomi Forum Bisnis yang terbit di Padang yang akan diterbitkan. Mantan bos di Semangat Demokrasi, Hidayat yang mengajak. Selain saya juga bergabung redaktur Semangat Demokrasi, bang Jumadi (kini Sekretaris DPD Golkar Kota Padang), Firdaus, dan sejumlah reporter senior, Zetri Murni dan Elfi Susanti. Layouter dipegang Dani Rahmat

Forum Bisnis bukan tabloid sembarangan. Modelnya mirip tabloid ekonomi Kontan. Kantornya pun mantap menyewa sebuah ruangan di hotel bintang lima, Bumi Minang di Jalan Bundo Kanduang Padang. Pemprednya Awaluddin Awe, mantan koresponden Bisnis Indonesia di Padang dan Mimbar Minang. Hidayat jadi redpel, Jumadi dan Firdaus memegang jabatan redaktur. Ada lagi redaktur lain bernama Noverry Darwin yang memegang halaman otomotif.

Di jajaran reporter selain Zetri dan Elvi, ada Gusnaldi Saman (Kepala Perwakilan Singgalang di Pariaman), kemudian baru bergabung Youngster Twin (Tribun Pekanbaru), Ari Ashadi dan Nila Sukhrina. Terakhir baru masuk Adrian Putra yang menjabat pemimpin perusahaan dan Jonnedy Setiawan alias Jonnedy Kambang (kini koresponden Trans TV di Padang). Bang Jon, biasa saya panggil awalnya jadi korlip dan kemudian naik jadi redpel.

Sama halnya dengan pak Awaluddin Awe, pendidikan formal Jonnedy tak tinggi alias kuliahnya tak selesai-selesai. Namun, ia sangat jago. Selain jago menulis, ia juga jago melobi. Samahalnya dengan pak Awe. Jonnedy sebelumnya pernah di Padang Ekspres dan juga jadi kontributor Reuters dan Pantau.

Usia Forum Bisnis tak sampai dua tahun. Sayang sekali, padahal namanya sudah harum di Sumbar. Tabloid yang kertas cetakannya mewah, HVS. Beritanya murni ekonomi. Ditambah suplemen otomotif dan profil. Jelang akhir 2003, Forum Bisnis tak terbit lagi. Media pertama yang fokus soal ekonomi di Sumbar resmi ditutup setelah rapat di suatu sore antara jajaran redaksi dan usaha di kantor kedua jalan Gunung Pangilun.

Setelah dari Forum Bisnis, saya sempat dua pekan ikut bergabung di koran mingguan Padang Post. Namun, saya tak melihat ada pengharapan di sana. Kuliah saya saat itu sudah selesai karena sudah diwisuda April 2003. Rencananya dari Padang, saya ingin mencoba peruntungan baru di Pekanbaru. Dua pekan saya jalan-jalan ke Kota Bertuah itu. Abang senior di kampus Sastra Unand, Jurusan Ilmu Sejarah, Hary B Koriun yang sama-sama gila bola menawarkan untuk pergi ke Batam dan bergabung dengan Sijori Mandiri. Kebetulan Pemred Sijori Mandiri, Zul Effendi bekas korlip saat masih bergabung di koran Singgalang.

Nah, awal tahun baru 2004, saya hijrah ke Batam dan langsung bekerja di Sijori Mandiri. Entah jenuh, tak ada tantangan baru atau ingin mencari kehidupan yang lebih baik, Mei 2005 saya pindah lagi ke Batam Pos dan masih bertahan sampai saat ini. Baru 3,5 tahun lebih, tapi rasanya sudah lama sekali.

Sekarang sudah tahun baru lagi, rasanya sudah capek untuk kembali bertualang. Rutinitas sehari-hari kini entah kenapa terasa menjemukan. Ditanya kawan-kawan yang lain, rupanya sebagian besar juga punya keluhan yang sama. Tak ada tantangan baru atau tak ingin ada tantangan. Entahlah. Tapi hidup terus berjalan. Ini sebuah pilihan dan harus dijalani. Apakah hobi? bukan, ini pekerjaan. Hobi sudah mati beberapa tahun yang lalu.

Saya terus gelisah. Tapi kata kawan saya, Youngster, gelisah lebih indah dari hati yang hampa.***

Kamis, 01 Januari 2009

Sutan Makmur

Sutan Makmur. Ini tak ada kaitannya dengan pahlawan nasional Sutan Syahrir atau sutan-sutan yang lainnya. Tak ada hubungannya juga dengan gelar sultan yang menjadi haknya kaum bangsawan. Ini gelar yang diberi kaum saya, suku Pibada, 7 November 2008 lalu, saat menikahi istri tercinta Meli Deswita.

Tak tahu juga kenapa dipilih gelar itu buat saya. Padahal masih banyak seabrek gelar yang lain. Moga-moga harapan mereka saya jadi makmur. Kalau saya senang saja menyandang gelar itu. Tak berat. Asalkan bukan gelar datuk yang konon sangat dihormati. Jadi datuk berarti jadi pemimpin kaum. Kalau Sutan Makmur, cukuplah pemimpin buat istri.

Bagi lelaki Minangkabau, gelar adat adalah sebuah kemestian. Pepatah adat mengatakan, 'ketek banamo, gadang bagala' (kecil punya nama, setelah dewasa diberi gelar). Setiap lelaki yang sudah menikah tentu diberi gelar adat, yang diumumkan dalam sebuah acara sederhana saat perhelatan kawin. Pemberian gelar itu merupakan pengakuan bahwa mereka kini telah menjadi lelaki dewasa, yang akan diikutsertakan dan diakui hak suaranya dalam musyawarah kaum. Gelar merupakan warisan, bukan hak milik individu.

Begitu seseorang meninggal dunia, maka gelar itu harus dikembalikan kepada kaum sebagai pemiliknya. Seseorang tidak berhak mewariskan gelar itu pada orang lain tanpa persetujuan kaum. Disebabkan setiap orang Minangkabau punya kaum, maka setiap lelaki dewasa akan selalu punya gelar. Jadi, gelar adat bukanlah sesuatu yang istimewa dalam masyarakat Minangkabau.

Masalahnya, saya hidup di rantau. Tak berlaku gelar adat di sini. Tak ada kaum maupun kerabat istri yang menyapa gelar itu. Istri saya pun yang sejak pacaran memanggil 'Uda' sampai saat ini masih bertahan dengan sapaan itu. Kadang-kadang pernah juga dia memanggil saya Sutan Makmur. Itu pun kalau sedang bercanda

Tapi seperti kata orang tua-tua, gelar juga berarti amanah dan harapan. Dimana pun berada, baik di kampung atau di rantau, tak boleh lupa dengan gelar adat yang berlaku hanya sekali. Saya pun tak malu, bahkan bangga mencantumkan gelar saya yang baru. Jadinya sekarang nama lengkap saya Dedi Arman Sutan Makmur SS. SS terakhir, Sarjana Sastra. Ini buah perjuangan empat tahun.***