SUTAN MAKMUR

ciloteh dikala senggang

Foto Saya
Nama:
Lokasi: batam

Pekerja Media, Peminat Sejarah. Tinggal di Batam, Kepri.

Sabtu, 28 Februari 2009

Sempat Salat, Menangis saat Pesawat Selamat

Keberhasilan pendaratan Lion Air MD 90 di Bandara Hang Nadim, Selasa (23/2) malam, selain karena kehebatan pilot, juga tak tak terlepas dari kepiawaian petugas Air Traffic Control (ATC). Pujian pun mengalir pada Chief ATC Hang Nadim, Indah Irwansyah bersama empat stafnya yang memandu pilot secara sempurna.

Pertama kali pilot Lion Air, Capt Anwar Haryanto menghubungi petugas ATC sekitar pukul 17.10 WIB. Pilot minta dipandu, pesawat akan mendarat pukul 17.35 WIB. Saat itu kendali ATC dipegang Didi Danu Saputra. Ia didampingi dua petugas ATC yang lain. Chief ATC, Indah Irwansyah sudah pulang ke rumah. Tak ada yang luar biasa karena pilot mengabarkan kondisi pesawat dalam kondisi bagus.


Irwan yang belum lama pulang ke rumah dan baru saja selesai salat Ashar, kaget saat ditelepon stafnya Didi Danu Saputra, sekitar pukul 17.20 WIB. Didi mengabarkan pesawat Lion mengalami masalah, roda depannya tak bisa keluar. Dari rumahnya di komplek Perumahan Bandara yang berjarak cukup dekat, ia langsung meluncur ke bandara.


Sampai di tower ATC, ia melihat Didi memandu pesawat. Ia tak langsung mengambil alih, tapi mempelajari dulu permasalahan yang terjadi. Sekitar 10 menit berada di tower, barulah ia mengambil alih kendali. Ia membagi tugas dengan empat stafnya. Satu orang menerima telepon dari luar, satu orang jadi asisten dalam memandu pesawat, satu orang mencatat kronologis setiap peristiwa yang terjadi dan satu orang lagi memantau landasan pacu.


Mulailah ia berkomunikasi dengan pilot. Langkah pertama yang dilakukan menanyakan kepada pilot kondisi pesawat. Pilot mencoba mengeluarkan roda depan dan dua roda belakang. Irwan diminta melihat dari jauh apakah usahanya berhasil atau tidak. Irwan mengambil teropong. Usaha pun dilakukan pilot. Nyatanya hanya ban belakang yang keluar. Ban depan tak muncul. Irwan kemudian memberitahukan kondisi ini pada pilot.


Irwan menyarankan agar pilot melakukan holding (berputar di udara) sesuai prosedur penerbangan. Pilot menyetujui dan melakukan holding. Saat berputar, Irwan beberapa kali bertanya pada pilot apakah sudah melakukan semua prosedur penerbangan.


”Saya bilang, capten apa semua prosedur sudah dilakukan. Dia bilang sudah, tapi roda depan tak keluar. Suara pilotnya terdengar sangat jelas, dia tak gugup,” kata Irwan di bandara, kemarin siang.


Kata Irwan, ia dan empat stafnya yang tegang selama pesawat berputar delapan kali di atas udara Hang Nadim. Mereka mencemaskan langkah yang dilakukan pilot. Penumpang begitu banyak dan kondisi pesawat rodanya tak bisa keluar. Mereka juga yakin keputusan yang diambil pilot juga menentukan masa depan karir Irwan dan empat stafnya.


Selama hampir dua berputar-putar di udara, katanya tak sekali pun terdengar suara pilot gugup. Pilot terus mengabarkan kondisi pesawat, termasuk bahan bakar. Petugas ATC meminta bahan bakar terus dibakar sampai tinggal 2.000 pound sebagai persyaratan untuk melakukan pendaratan darurat.


Saat pesawat berputar di udara, Irwan mendapat telepon manajemen Lion Air langsung oleh Direktur Operasi kapten Daniel. Ia meminta agar ponsel Irwan terus dihidupkan agar dia bisa mendengar komunikasi antara pilot dan petugas ATC. ”Hanya kami yang bisa berkomunisi dengan pilot. Direktur operasinya cemas sekali,” ujarnya.


Dalam situasi genting, Irwan mengaku masih menyempatkan diri salat Magrib, sekitar pukul 18.45 WIB. Sebelum salat, anggotanya diminta tak meninggalkan lokasi. Ia salat di dalam tower. Usai salat, ia berdoa agar pendaratan Lion Air berjalan lancar dalam lindungan Allah.


Kemudian ia kembali memegang kendali panduan. Pukul 19.06 WIB, pilot memberitahukan dia memutuskan pendaratan darurat. Pihak ATC menyetujui. Tapi sebelumnya, petugas ATC berkoordinasi dengan pimpinan bandara agar disiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Langsung disiapkan mobil pemadam kebakaran dan fasilitas lain.
Setelah persiapan lengkap, Irwan menghubungi pilot, pendaratan sudah bisa dilakukan. Detik-detik menjelang pesawat mendarat, katanya begitu menegangkan. Saat pesawat mulai terbang rendah, Irwan mulai berhitung dari menit ke-10 sampai detik terakhir saat roda tengah menyentuh landasan pacu.


”Saya teriak keras-keras 10 menit, delapan menit, empat menit, sampai detik terakhir. Saat ban menyentuh landasan pacu, saya pencet bel sirine tower keras-keras,” kata Irwan.
Begitu menyentuh landasan pacu, pesawat masih melaju dan berhenti sampai jarak 100 meter. Setelah itu mesinnya mati. Hanya sedikit percikan api karena petugas PBK menyemprotkan foam (busa racun api) ke badan pesawat. Dari teropong dia bisa melihat kondisi pesawat tak ada masalah.


Ketika pesawat sudah berhenti, dilihatnya pilot membuka pintu pesawat. Dia bertanya pada salah seorang petugas PBK. ”Ada apinya ngak?,” kata pilot. Petugas PBK menjawab tak ada, kemudian pilot duduk kembali di tempat duduknya. Tak lama kemudian, pilot, awak pesawat dan penumpang turun.


”Banyak orang memeluk pilot yang jadi pahlawan. Dia juga dibopong ramai-ramai,” ujarnya.
Sementara, di tower Irwan dan empat stafnya juga bahagia. Mereka meneriakkan takbir beberapa kali. Irwan menangis, anak buahnya juga ada yang menangis. Pasalnya mereka telah melewati momen dramatis yang sangat langka.


”Ini pengalaman paling membekas sepanjang karir saya sebagai petugas ATC,” kata bapak tiga anak ini.


Begitu pendaratan darurat sukses, pujian mengalir pada pilot dan petugas ATC. Tak terkecuali dilontarkan Kepala Bandara Hang Nadim Razali Abubakar. Ia menyebut petugas ATC yang memandu pesawat ATC berpengalaman, yakni Indah Irwansyah dan Didi Dani Saputra.


”Pilotnya hebat. Petugas ATC juga luar biasa. Mereka yang ditugaskan ATC senior,” kata Razali.
Setelah berhasil mengawal pendaratan yang heroik itu, Razali dihadapkan pada permasalahan lain. Ia harus segera menutup landasan dan mengevakuasi badan pesawat ke tepi landasan agar tidak menganggu penerbangan sekaligus menghilangkan trauma bagi para calon penumpang.
“Evakuasi harus berlangsung cepat supaya aktivitas penerbangan bisa kembali normal. Kalau tidak, berapa pesawat yang gagal mendarat dan berangkat, berapa penumpang yang dirugikan, berapa kehilangan pemasukan,” tuturnya.


Dilema itu membuat Razali harus mengambil keputusan berani. Dengan posisi pesawat yang masih tergolek di landasan, ia harus membuka kembali landas pacu supaya mekanik Lion bisa segera tiba di Hang Nadim sebelum hari terang. Malam itu juga, sekitar pukul 23.30 WIB, Razali memberikan izin Lion Air terbang dari Jakarta menuju Batam.


Pukul 00.30 WIB, pesawat yang ditunggu-tunggu tiba di Hang Nadim. Dengan sisa landasan yang cuma 1.800 meter, keputusan Razali itu berisiko menimbulkan over shot (pesawat kebablasan) dan mengalami kecelakaan. “Kalau sampai kecelakaan, mungkin saya tidak ada di sini, tapi di penjara,” ujarnya.


Pendaratan Lion Air yang mengakut mekanik dan petuasg dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu ternyata berjalan mulus. Razali bisa bernafas lega. Apalagi proses evakuasi yang dilakukan dini hari tersebut juga berjalan mulus, tanpa kendala berarti.


Bagi ini Hang Nadim, peristiwa seperti itu bukan kali pertama. 10 Maret 2008, Adam Air tergelincir di sana. Meski tak ada korban jiwa, namun peristiwa itu memincu dibubarkannya managemen Adam Skyconnection Airlines. Razali berharap, peristiwa serupa tak terulang lagi di Batam.
”Tak ada yang bisa menjamin kecelakaan serupa tidak terulang. Tapi paling tidak, akibat buruk yang ditimbulkan dari insiden itu bisa kita atasi dengan cepat dan tepat. Mudah-mudahan tak ada lagi peristiwa seperti ini. Kita berdoa saja,” tukasnya.


Kasus Lion Air ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Irwan. Sudah 25 tahun, tepatnya sejak bulan September 1984 ia sudah bertugas di Batam. Dalam rentang waktu yang panjang itu, baru dua kali kasus kecelakaan. Sebelum insiden Lion Air ini, sebelumnya ada kasus pesawat Adam Air yang tergelincir tanggal 10 Maret 2007.


Laki-laki kelahiran 26 Agustus 1960 ini mulai bekerja sebagai junior ATC sejak tahun 1982, setelah tamat Diploma Dua (D2) tamat Pendidikan Latihan Penerbangan (PLP) Curup. Tugas pertamanya di Balikpapan dan enam kemudian ditarik ke Jakarta. Kemudian ia ditugaskan ke Tanjungpinang 6 Juni 1983 dan pindah ke Batam bulan September 1984. Pendidikan terakhirnya adalah Diploma 4 (D4) di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Indonesia (STPI) Curup dan bergelar Sarjana Ilmu Terapan (SSIT).


Sebagai Chief ATC Hang Nadim, Irwan membawahi 20 orang staf. Sebagian besar mereka sudah memiliki kualifikasi radar (senior). Irwan ternyata masih menyimpan obsesi. Ia ingin Bandara Hang Nadim punya radar yang bisa memantau titik pesawat dalam kondisi cuaca yang paling buruk sekali pun.


Saat ini petugas ATC hanya mengandalkan pengamatan secara konvensional. Kendalanya ada batasan pengamatan. Petugas sangat kesulitan memantau pesawat dalam kondisi cuaca jelek. Ini bisa diatasi dengan adanya radar semacam Secondary Surveillance Radar (SSR). ”Radar SSR bisa memantau sampai ratusan kilometer. Kalau Hang Nadim sudah punya, tak sulit menentukan koordinat pesawat. Harganya Rp60-80 miliar,” ujarnya.***

KMP Kuala Batee II, Berjasa Saat Tsunami


Kapal roll on roll off (roro) KMP Kuala Batee II, hampir satu tahun beroperasi melayani Punggur-Tanjunguban. Keberadaannya dibutuhkan dan saat ini semakin diminati. Dibandingkan kapal roro sebelumnya, KMP Paray dan Sri Gemilang, kapal ini memiliki berbagai kelebihan.
---------------------------------------
Nyaman, itu kesan yang dirasakan wartawan koran ini saat bepergian dengan KMP Kuala Batee Punggur-Uban pulang pergi, Sabtu (28/2) kemarin. Kenyamanan sangat terasa ketika berada di ruangan penumpang yang berada di lantai dua. Ruangan begitu luas. Penumpang bisa memandang bebas keluar karena tak ada penghalang kaca atau pembatas lain. Dari atas, penumpang bisa menikmati indahnya deretan pulau-pulau kecil selama perjalanan.

Perjalanan Punggur-Uban sejauh delapan mil itempuh dalam waktu 45 menit, ditambah proses menaikkan dan menurunkan kenderaan, paling lama satu jam. Dari Punggur, kapal setiap hari berangkat dua trip. Pukul 10.00 WIB dan trip kedua, pukul 16.00 WIB. Dari Tanjunguban, juga dua trip. Pukul 08.00 WIB dan pukul 13.00 WIB.

Selama dalam perjalanan Punggur-Uban dan Uban-Punggur, wartawan koran ini melihat sejumlah fasilitas kapal milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) ini.Kapal berbobot 464 GT itu secara secara sederhana dibagi tiga lantai. Lantai dasar atau bawah untuk memuat kenderaan, dan lantai dua untuk penumpang. Ruangan nahkoda dan kamar anak buah kapal (ABK) berada di lantai tiga atas atas.

Dibandingkan KMP Paray dan Sri Gemilang, KMP Kuala Batee II jauh lebih besar. Tersedia 292 kursi penumpang. Sebanyak 50 kursi kelas VIP, 72 kelas bisnis dan 170 kursi kelas ekonomi. Penumpang 300-an orang pun masih tertampung. Sedangkan kapal roro KMP Parai kapasitasnya hanya 115 penumpang dan KMP Sri Gemilang 100 penumpang.

Selain penumpang, kapal roro ini juga mampu memuat 100-an unit sepeda motor dan sekitar 22 unit roda empat dan roda enam. KMP Kuala Batee juga lebih cepat ketimbang dua kapal roro yang lain. "Hanya Kuala Batee II saja yang beroperasi melayani penumpang. KMP Parai sekarang beroperasi di Bangka. Kalau Sri Gemilang bawa elpiji, avtur dan bahan bakar lain," kata penjabat sementara (Pjs) nahkoda KMP Kuala Batee II, Syahmirdan, kemarin.

Ruangan penumpang dilengkap televisi di setiap ruangan. Satu unit di kelas ekonomi, satu unit di kelas bisnis dan satu unit lagi di ruangan VIP. Ruangan penumpang juga dilengkapi ruangan mushala. Tersedia juga empat toilet yang berukuran cukup besar khusus untuk penumpang. Selain itu, juga disediakan minuman kaleng dan makanan kecil yang lokasinya di depan kelas bisnis.

Antara kelas ekonomi dan bisnis ada dua pintu. Penumpang yang ingin merokok bisa pergi ke ruangan ekonomi. Di kelas bisnis ada AC. Beda kedua ruangan selain AC, hanya bentuk kursi. Kelas ekonomi kursinya terbuat dari plastik yang keras. Bagi penumpang yang ingin menggunakan laptop di ruangan ekonomi bagian belakang ada meja.

Mulai Februari 2009, ASDP sudah memberlakukan tarif baru, yang turun rata-rata lima persen dari tarif sebelumnya. Kelas bisnis untuk dewasa Rp16.600, kelas bisnis anak-anak Rp13.000, kelas ekonomi dewasa Rp14.500, dan kelas ekonomi anak Rp11.500.

Tarif kenderaan dibagi delapan golongan. Golongan satu untuk jenis sepeda ontel, tarifnya Rp 12.ribu. Golongan dua untuk sepeda motor Rp24 ribu, dan Golongan tiga untuk roda tiga atau bajai tarifnya Rp126.000. Golongan empat untuk kendaraan penumpang jenis sedan, kijang dan sejenis tarifnya Rp173.500. Untuk mobil pickup atau boks barang roda empat tarifnya Rp154.500.

Golongan lima juga dibagi dua. Untuk bus penumpang tipe sedang tarifnya Rp314 .000. Truk sedang pengangkut barang tarifnya Rp272.500. Golongan enam untuk bus penumpang besar tarifnya Rp439.500. Truk besar pengangkut barang Rp414.000 ribu.Sedangkan, golongan tujuh jenis tronton dan kontainer tarifnya Rp522.000. Golongan delapan kendaraan jenis alat berat Rp774.000. Sedangkan untuk barang, tarif sekali angkut Rp9.500 per ton.

Nahkoda Syahmirdan, didampingi mualaim II, Amiruddin menyebutkan, sejak beroperasi bulan April 2008 lalu, keberadaan KMP Kuala Batee semakin diminati. Rata-rata dalam sehari atau empat trip dibawa 250-an penumpang. "Kalau hari Sabtu Minggu atau hari libur, penumpang biasanya lebih banyak. Tapi sejak kami hadir di sini, belum ada penumpang yang tak terangkut. Kapal cukup besar," kata nahkoda asal Meulaboh, Aceh Barat ini.

Sabtu (28/2) kemarin, dari Uban ke Punggur pukul 08.00 WIB membawa 120 penumpang. Dari Punggur ke Uban pukul 10.00 WIB, jumlah penumpang 111 orang. Kemudian, penumpang dari Uban ke Punggur pukul 13.00 WIB, sebanyak 106 penumpang. Masih ada satu trip lagi pukul 16.00 WIB ke Uban.

KMP Kuala Batee II produksi tahun 1991 dan beroperasi mulai 1992. Sebelum beroperasi melayani rute Punggur-Uban, kapal ini biasanya beroperasi dari Meulaboh ke wilayah sekitarnya. Misalnya, Meulaboh-Sinabang, Banda Aceh-Sabang, Sibolga-Gunung Sitoli (Nias) dan rute lain di Aceh.

Mualim II, Amiruddin menyebutkan, kapal ini pernah berjasa saat terjadi musibah tsunami Aceh tahun 2004 lalu. Kapal dipergunakan untuk mengangkut barang-barang untuk korban tsunami.
Saat tsunami datang, katanya kapal sedang bersandar di dermaga Sinabang. "Kapal selamat, hanya sedikit yang rusak. Makanya kapal banyak digunakan untuk membantu korban dan membawa barang," ujarnya.

Dari 19 awak kapal, termasuk nahkoda, hanya tiga orang yang bukan orang Aceh. Selebihnya berasal dari Aceh, khususnya Meulaboh. Tak heran di ruangan kemudi kapal, nahkoda dan anak buahnya biasa menggunakan bahasa Aceh. Selain bahasa Aceh, rata-rata diantara mereka juga fasih pakai bahasa Minang.

Tak satu pun diantara mereka yang tinggal di Batam atau Tanjunguban. Mereka tinggal di kapal. Sementara, anggota keluarganya ada yang di Aceh dan ada pula yang di Medan.
"Kami gantian saja balik mengunjungi istri. Saya asal Meulaboh, tapi anggota keluarga di Medan. Tak ada lagi rumah di kampung. Habis kena tsunami," kata laki-laki yang 26 tahun bekerja di ASDP ini.

Ia meyakinkan keberadaan KMP Kuala Batee II yang melayani rute Punggur-Uban bukan mematikan atau menyaingi kapal feri penumpang lain. Kapal ini alternatif, bagi penumpang yang ingin bepergian, khususnya membawa kenderaan. Selain lebih hemat, proses membawa kenderaan juga tak rumit.

Hal ini dirasakan salah seorang penumpang, Doni Hendri yang sempat ngobrol-ngobrol dengan wartawan koran ini dalam perjalanan ke Uban. Karyawan Kimia Farma Tegal ini bersama teman-temannya berencana jalan-jalan ke Lagoi. Ia liburan ke Batam dan diajak temannya ke objek wisata di Kabupaten Bintan itu. "Teman bawa mobil, makanya kami pilih naik kapal roro ini. Nyaman sekali, seperti di atas kapal pesiar saja," kata Doni. (dea)

Minggu, 22 Februari 2009

Judul Skripsi Kami

Dedi Arman 98181006 Judul Skripsi: Mangampo: Petani Gambir di Desa Pantai Cermin Kec. Pangkalan Koto Baru 1990-1998

Meli Deswita 00181004 Judul Skripsi: Kehidupan Sosial Tukang Kuda di Bukit Ambacang Kelurahan Kubu Gulai Bancah Bukittinggi 1997-2001.

Saya tamat tahun 2002, sedangkan istri 2005. Ketemu di kampus dan pacaran dalam waktu cukup lama (2000 sampai menikah) 7 November 2008. Kata orang pacaran satu jurusan kemesraan terjamin, masa depan suram. Masa depan tak perlu ditakuti, tapi dijalani.**

Ke Sawahlunto, Mak Itam Kembali


Ratusan warga Sawahluto, Sabtu (21/2) siang memadati Stasiun Kereta Api Sawahlunto. Mereka ingin meyaksikan diaktifkannya lokomotif uap E1060 yang terkenal dengan panggilan Mak Itam.

Pukul 5 sore, kereta api wisata yang membawa Menteri Perhubungan Djusman Syafei Djamal dan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mulai memasuki Kota Sawahlunto dari arah Mesjid Raya Sawahlunto.

Mesin Lokouap yang ada di depan stasiun mulai dihidupkan. Dua Masinis dan asisten masinis yang berpakaian seragam putih-putih ala menir Belanda mulai menghidupkan ‘dapur ‘ lokouap. Mengatur mesin secara manual dengan tangan, memasukkan batubara ke dalam tungku pemanggang, dan mengukur tekanan uap.

Tak lama, lokouap mulai mengepulkan asap hitam yang tebal. Suara mesinnya yang khas mulai terdengar berdesis. Saat lokouap mulai berjalan di atas rel sambil mengeluarkan asap atas dan bawah, juga mengeluarkan percikan air ke udara. Ratusan warga yang menyaksikan bersorak gembira saat terompet Mak Itam dibunyikan dan terkagum-kagum pada kepulan asap Mak Itam yang bergerak perlahan menyambut kereta api wisata hingga bersisian.

Pengunjung berebutan berfoto di depan lokouap. Wajah-wajah pegawai PT KAI Devisi Regional Sumatera Barat memancarakan kegembiraan. Mereka bergantian berfoto di depan Mak Itam bersama teman-teman berpakaiana ala Menir Belanda.

Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengatakan, perjalanan Mak Itam yang didatangkan ke Sumatera Barat melalui jalan panjang dan diperjuangkan oleh Masyarakat Peduli Kereta Api Sumatera Barat (MPKS).
"Kembalinya Mak Itam tak terlepas dari usaha MPKAS, dulunya Mak Itam ke Ambarawa karena di ranah dianggap baguno balun, tetapi sekarang sudah kembali ke Sumatera Barat karena sekarang sudah berguna," kata Gamawan.

Ia mengatakan, karena keunikan lokouap ini, jangan sampai dijual murah, tetapi dijual mahal untuk wisata. Sebab lokouap sudah langka dan punya sejarah yang panjang.

Menteri Perhubungan mengatakan, dengan lokouap diharapkan akan melengkapi Sawahlunto sebagai ‘Living Museum'. Lokouap amat istimewa, karena sarat sejarah dan tak terlepas dari sejarah Kota Tambang Sawahlunto dan sejarah dunia perkeretaapian di Indonesia. "saya harapkan ini dapat bermanfaat untuk membangkitkan dunia pariwisata di Sumatera Barat," ujarnya.

Sejarah Mak Itam
Sejarah kereta api di Sumbar memang dimulai dari ditemukannya cadangan batubara di Sawahlunto akhir abad ke-19. Belanda membangun jalur kereta api dari Pelabuhan Emma Haven (sekarang Pelabuhan Teluk Bayur ) dari Padang ke Sawahlunto, sepanjang 155,5 Km.

Jalur kereta api yang dibangun Belanda bukan cuma di Sawahlunto. Melainkan pula di berbagai kota di Sumatra Barat sebagai transportasi umum. Contohnya jalur kereta api dari Lubuk Alung ke Pariaman (20,9 Km), Padang - Padangpanjang (68,3 Km), dan Bukitttinggi - Payahkumbuh (33 Km). Bahkan jalur kereta sampai ke Muara Padang. Totalnya jalur kereta api di Sumatera Barat sepanjang 240 km.

Menipisnya cadangan batu bara di Sawahlunto, mengakhiri kejayaan kereta api di Sumbar sejak tahun 2003. Sungguh sayang aset peninggalan Belanda yang mempunyai nilai sejarah ini dibiarkan teronggok menjadi besi tua. Sepatutnya barang- barang seperti itu dilestarikan untuk dikelola menjadi kereta api wisata. Menurut Cristy, kepala Museum Kereta Api Sawahlunto, koleksi peralatan kereta api di museum ini sekitar 80 koleksi yang didapat dari PT. KAI.

Di Sawahluinto yang dapat julukan Kota Tambang ini juga ada Museum Kereta Api yang menyimpan beragam koleksi perkeretaapian Sumbar. Sawahlunto yang letaknya 98 km arah Timur Kota Padang, Sumbar, dulu menjadi rebutan banyak pihak karena buminya kaya dengan batu bara. Bekas kejayaannya sebagai Kota Tambang, kini dikemas menjadi beberapa obyek wisata sejarah, salah satunya Museum Kereta Api.

Museum Kereta Api terletak di Jalan Abdul Rahman Hakim, Kampung Aya Dingin, Sawahlunto, Sumbar. Museum yang mempunyai luas 1.500 meter persegi ini berjarak sekitar 5 km dari Muaro Kalaban.

Di museum ini dipajang berbagai peralatan kereta api, seperti label pabrik, dongkrak, rel, sinyal kereta, dan alat komunikasi, foto-foto tentang perkeretaapian di Sumbar. Semuanya tersimpan rapih di museum ini, Selain itu, di halaman museum juga terdapat beberapa gerbong pengangkut batu bara, dua gerbong yang terbuat dari kayu, dan sebuah lori wisata. (Padangkini/majalah travel)

Rabu, 18 Februari 2009

Terjerat

Berawal ditangkap dan ditahan
Pak polisi main dengan pasal
Pak jaksa mengatur melalui tuntutan
Pak hakim menunggu dengan putusan
Wartawan datang menyebar ancaman
Isi kantong menentukan keadilan (dea)

Selasa, 17 Februari 2009

Tan Malaka Jadi Nama Jalan Protokol


Pernah kandas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, nama pahlawan nasional asal Sumatera Barat, Tan Malaka, rencananya akan kembali diusulkan menjadi nama jalan protokol di ibukota.

"Dulu pernah diusulkan ke DPRD DKI tapi tak ditanggapi, kita akan kembali mengusulkan agar ada jalan protokol di Jakarta bernama Jalan Tan Malaka sebab sudah sepantasnya nama Tan Malaka menjadi nama jalan protokol," kata Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Tan Malaka, Datuk Putih Asral yang dikontak Selasa (17/2).

Meski Tan Malaka adalah seorang pahlawan nasional dan memiliki kisah heroik yang bahkan lebih hebat dibanding pahlawan nasional seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sudirman, Sutan Sjahrir, Hamka, Diponegoro, Gadjah Mada, Mohammad Yamin, Ahmad Yani, Kartini, namun namanya tak pernah dijadikan nama jalan protokol.

"Kecuali menjadi nama gang di dekat Kalibata, Jakarta, di belakang pabrik sepatu Bata, di sana ada gang Tan Malaka 1 dan Gang Tan Malaka 2, itupun warga di sana yang memberi nama untuk mengenang Tan Malaka, karena beliau pernah tinggal di sana menyelesaikan buku Madilog," kata Datuk Putih.

Di Padang, ibukota Sumatera Barat sendiri nama Tan Malaka hanya dijadikan jalan pendek dan kecil di samping RRI Padang. Di Limapuluh Kota, jalan Tan Malaka adalah sebuah jalan panjang dari Payakumbuh melewati kampung kelahiran Tan Malaka.

"Dulu kita juga sudah mengusulkan ke DPRD Sumatera Barat agar nama bandara internasional dinamakan Bandara Tan Malaka, tetapi kata DPRD nama Minangkabau sudah terlanjur diputuskan, padahal saat itu belum diputuskan, mungkin karena saat itu Tan Malaka belum terkenal seperti sekarang," kata Datuk Putih Asral.

Kuburan Tan Malaka Digali
Dugaan kuburan pahlawan nasional legendaris asal Sumatera Barat, Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, dijadwalkan akan digali Kamis, 12 Maret nanti.

Panitia Peringatan 112 Tahun dan 60 Tahun Hilangnya Tan Malaka dalam siaran persnya yang dikirim kepada PadangKini.com menyebutkan, penggalian makam di Selopanggung yang diindikasikan sudah 99 persen makam Tan Malaka merupakan acara inti peringatan tahun ini.

Panitia Peringatan 112 Tahun dan 60 Tahun Hilangnya Tan Malaka diketuai Zulfikar Kamarudin, kemenakan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Panitia dibantu Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Masyarakat) Tan Malaka, Datuk Putih Asral.

"Kepastian apakah di sana benar-benar kuburan Tan Malaka akan dibuktikan melalui tes DNA," ujarnya.

Zulfikar mengatakan, panitia penggalian kuburuan Tan Malaka telah melayangkan surat ke berbagai instansi. Di antaranya Kementerian Sosial, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, dan Bupati Kabupaten Kediri.

Panitia nasional pencari makam almarhum Tan Malaka juga sudah dibentuk. Panitia ini didukung Tim Penasehat dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, Dr. Adnan Buyung Nasution, Profesor Zulhasril Nasir , Dr. Asvi Warman Adam, Imam Suroso, dan Dr. Aulia Rahman.

Tan Malaka hilang pada 19 Februari 1949 saat mempertahankan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 yang terancam dilikuidasi oleh Perjanjian Linggarjati dan Renville menjadi negara-negara bagian yang didirikan Van Mook dan Van Der Plaas.

Pada Maret 1963 Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Kepres No. 53 Tahun 1963. (Padangkini.com)

Senin, 16 Februari 2009

Bencana di Hari Bahagia




Saya menikah tanggal 7 November 2008 di Masjid Raya Padangluar, Batusangkar, kampung istri tercinta. Kami menikah usai salat Jumat. Malang tak dapat ditolak, malam itu saat sedang pesta di Batusangkar, kampung kelahiran saya di Malalak, Agam kena musibah longsor (galodo). Beberapa orang meninggal dunia.

Jadinya pesta (baralek) yang rencananya digelar Ahad dan Senin (9-10/11) di Lima Badak, Malalak diubah jadi pesta sederhana. Maklum orang sekampung dan keluarga masih berduka. Tak ada acara hiburan organ tunggal atau kesenian Minang. Musibah ini takkan terlupakan karena terjadi di hari bahagia kami.**

Pasrah

Tuhan, aku pasrah
Tak ada lagi yang bisa digapai
Semuanya hanya perjalanan panjang yang tak berarti
Dari satu sudut ke sudut lain kisahnya sama

Satu persatu sudah berlalu
Jiwa ini masih di sini
Tak ada lagi pengharapan
Terdiam dalam ketidakberdayaan manusia

Tuhan, aku pasrah
Semuanya sia-sia (dea)

Mestika Zed, Meluruskan dan Mengingatkan Sejarah


Upaya ‘meluruskan’ peran penting Sumatera, khususnya Sumatera Barat, dalam sejarah Indonesia adalah salah satu usaha Metika Zed. Usaha lainnya adalah selalu mengingatkan bangsa ini terhadap sejarah yang selalu mudah dilupakan, dan ikut memberantas korupsi.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan sejarah Giyugun Sumatera, merupakan tiga peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang berpusat di Bukittinggi dan Padang (Sumatera Barat) yang diabaikan dan bahkan mendapat tempat tak terhormat dalam sejarah Indonesia.

Ketiga peristiwa ini, menurut Mestika, adalah bentuk nyata pengabaian Jakarta terhadap peran historis daerah.

Melalui penelitian yang kemudian dibukukan, Somewhere in the Jungle, Sejarah PDRI, Sebuah Matarantai Sejarah yang Terlupakan (Grafiti Press: 1997), doktor sejarah lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam pada 1991 ini menyimpulkan; negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI.

PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara selama delapan bulan hingga 13 Juli 1949 yang berpusat di Bukittinggi. Ia mendapat mandat langsung dari Soekarno-Hatta setelah Republik Indonesia jatuh ke tangan Belanda dalam Angresi II dan menjalankan PDRI dengan bergerilya di hutan Sumatera.

“PDRI adalah bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara ini dari ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya selesai, tetapi kemudian matarantai sejarah ini dilupakan,” kata Mestika yang mendapat penghargaan dari IKAPI Jakarta sebagai penulis buku terbaik nasional untuk bidang ilmu-ilmu sosial atas bukunya ini pada 1999.

Hal yang sama, menurut Mestika, juga terjadi dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Melalui bukunya, Giyugun, Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera (LP3ES: 2005), Mestika memaparkan bahwa tak hanya Giyugun Jawa atau Tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang menjadi cikal-bakal TNI. Tetapi juga Gyugun Sumatera yang berpusat di Bukittinggi yang merupakan cikap-bakal TNI di Sumatera.

Namun peran penting Giyugun Sumatera ini menghilang dalam berbagai peristiwa. Selain karena berbagai pembonsaian pasukan dengan melebur ke dalam TNI di Jawa, juga karena peristiwa ketidakpuasan para perwiranya kepada Jakarta yang berpuncak pada peristiwa PRRI.

Salah Tafsir PRRI

PRRI adalah peristiwa yang menurut Mestika disalahtafsirkan oleh Jakarta atau sejarah. Hingga kini dalam sejarah Indonesia peristiwa PRRI yang berpusat di Padang pada 1958 disamakan dengan gerakan separatisme yang marak pada 1950 dan 1960-an atau sama dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Padahal sebenarnya beda, PRRI bukanlah gerakan kudeta, tetapi upaya untuk menurunkan rezim, di ruangan pemimpinnya masih terpasang foto Soekarno, dan sama seperti gerakan reformasi, jika direlevansikan sekarang, PRRI adalah embrio dari ide-ide reformasi, tetapi gerakan itu ditangani oleh Jakarta dengan operasi militer,” katanya.

Mestika saat ini sedang menyiapkan penulisan sejarah tentang peristiwa PRRI yang lebih lengkap dari buku yang ada sekarang.

Terkait dengan usahanya meneliti dan menuliskan ketiga peristiwa tersebut, Mestika sebenarnya keberatan disebut sebagai upaya meluruskan sejarah. Meskipun ia akui, salah satu penyebab kesalahtafsiran itu akibat Jawasentris dalam penulisan sejarah Indonesia, karena minimnya sejarawan di luar Jawa pada masa lalu.

“Sejarah tidak kuasa diluruskan oleh siapapun, saya melakukan penulisan sejarah bangsa ini untuk menjadi rujukan yang lebih jernih, objektif, dan bukan ditarik kiri-kanan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, tapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan,” kata mantan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat ini.

Mengganyang Koruptor

Mestika Zed tak hanya seorang intelektual ‘yang berumah di atas angin’, tetapi juga terlibat dalam kegiatan praktis mengubah keadaan. Ia menjadi motor penggerak bersama Saldi Isra dan kawan-kawan melaporkan kasus korupsi anggota DPRD Sumatera Barat pada 2002, hingga 33 anggota (kini mantan) dewan tersebut divonis bersalah mengkorupsi uang APBD Rp5,9 miliar.

Mestika Zed menjadi koordinator pertama Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), lembaga yang didirikan sejumlah aktivis NGO dan akademisi di Padang yang melaporkan kasus korupsi itu dan sejumlah kasus korupsi lainnya di Sumatera Barat.

“Terlibat di FPSB adalah bagian dari ketidaksabaran saya untuk ikut mengubah keadaan bangsa ini ke arah yang lebih baik, saya juga tidak ingin menjadi intelektual yang bersarang di awang-awang,” katanya.

Namun berbicara mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, Mestika mengaku sangat kecewa, termasuk kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

“Pemberantasan korupsi tidak sesuai yang diharapkan, aparat hukum belum commited dengan pemberantasan korupsi, saya bisa menyimpulkan perangai birokrasi masih belum berubah dari zaman Orde Baru, bukti nyata dalam penanganan eksekusi 33 mantan DPRD Sumatera Barat yang sudah divonis bersalah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, tapi tak kunjung dihukum,” ujarnya.

‘Cetak Biru’ Perilaku Kolonial

Dari pandangan sejarawan, Mestika sangat mengkhawatirkan arah perjalanan bangsa ini. Ia menilai, orang-orang di pemerintahan maupun elit politik cenderung terjebak mengulangi ‘cetak biru’ perilaku kolonial.

“Cara menangani beberapa kasus seperti Abepura, Poso, kenaikan Tarif Dasar Listrik, kenaikan Bahan Bakar Minyak, dan sebagainya disalin persis dari cara zaman Orde Baru yang juga tak beda dari Zaman Kolonial, pemerintah sibuk mencari kambing hitam tanpa menyelesaikannya berdasarkan persoalan di akar rumput, mendengar hati nurani rakyat, dan detak jantung mereka,” katanya.

Menurut Mestika, mestinya saat ini para pengambil keputusan belajar banyak dan berkaca kepada sejarah masa lalu, agar tidak terjerumus kepada persoalan yang sama yang pernah dialami sebelumnya. Mereka harus mengedepankan kepekaan historis dalam mengambil keputusan.

Mestika Zed lahir di Batuhampar, Payakumbuh, 19 September 1955. Setelah meraih sarjana strata satu di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1980, ia melanjutkan ke Vrije Universiteit, Amsterdam dan meraih gelar MA pada 1983. Lalu mengikuti program penyetaraan S2 di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia pada 1984. Ia kemudian mendapatkan gelar Ph. D dalam bidang sejarah di Vrije Universiteit pada 1991.

Selain staf pengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, ia juga Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya dan Ekonomi (PKSBE) di kampungnya. (Padangkini.com)

Sabtu, 14 Februari 2009

Saluang Semalam Suntuk


Saya pulang ke Padang 12 Februari lalu bersama istri. Ini kepulangan yang pertama usai menikah bulan November 2008 lalu. Meski baru tiga bulan tak pulang kampung, kerinduan pada kampung halaman tetap terasa. Kami berdua pulang karena kakak ipar yang perempuan menikah.

Pesta (alek)terasa lebih meriah ketimbang pesta kami. Maklum dalam pesta kali ini mertua mengundang grup saluang terkenal untuk tampil. Tak hanya tamu undangan yang datang, Jumat (13/2) malam kemarin, tapi juga ratusan orang penikmat saluang. Grup saluang ini tampil sampai pukul 04.00 WIB. Penonton tak beranjak karena tiga tukang dendang yang semuanya perempuan membawa lagu-lagu yang sangat dinikmati penonton. Tak terkecuali ada juga penonton yang minta lagu.

Saluang dari seruas bambu itu begitu mendayu seolah menggugah rindu perantau pada kampung halamannya di ranah minang. Padahal alat musik itu sangat sederhana, hanya seruas bambu dengan tiga, empat dan enam lubang nada. Pernafasan peniupnya melalui hidung tanpa terputus-putus.

Namun di tangan seniman yang ahli ditambah dengan sedikit mantra dan jampi-jampi akan menggugah hati yang mendengarnya, terlebih bila ditujukan pada anak muda yang dimabuk asmara.

Saluang Darek adalah alat musik tiup tradisional dari Sumatra Barat di daerah darek atau darat seperti Batusangkar. Terbuat dari sejenis bambu tipis berwarna kuning gading. Dimainkan dengan ringan dengan satu atau dua pendendang.

Alat musik ini sering dimainkan seorang pemuda untuk melepas kerinduan, pelipur lara, atau pelepas lelah. Suaranya mengalun indah seperti udara di pegunungan.**

Senin, 09 Februari 2009

PKS versus Wartawan


PKS ajak wartawan Batam tanding bola. Hebatnya, Presiden PKS Tifatul Sembiring langsung turun bermain. Ternyata ustad berdarah Batak dan Minang ini jago juga mengolah si kulit bundar. Dua gol dicetak, skor pun imbang 5-5. Wawako Batam Ria Saptarika didaulat jadi kiper. **

THE GODFATHER BLOGGER (budi putra)


Tahun 1996, seusai menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, ia mendapat beasiswa belajar di Jepang. Saat dia berada di Jepang, pesawat Garuda Indonesia DC-10 mendapat musibah, terbelah menjadi tiga bagian di Bandara Fukuoka dan menewaskan tiga dari 261 penumpang yang sebagian besar warga Jepang.

Karena saat itu dia adalah wartawan untuk sebuah harian di Padang, Sumatera Barat, naluri kewartawanannya terpanggil. Ia menulis dan melaporkan peristiwa itu ke koran Singgalang, tempatnya bekerja. Bagi koran daerah, ini berita eksklusif yang dilaporkan langsung on the spot. Ia kirim laporan empat sampai lima kali lewat faksimile yang sangat mahal biayanya.

“Di Jepang internet sudah mewabah, tetapi saya tak tahu bagaimana memanfaatkannya,” kenang Budi Putra, si penerima beasiswa, saat ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta. Akan tetapi, ia segera sadar, “Kalaupun saya bisa memanfaatkannya, apa bisa tersambung ke Padang, wong di Jakarta saja internet masih langka.”

Rasa minder karena gaptek (gagap teknologi), khususnya gagap teknologi informasi (TI), tak membuat dia terasingkan. Justru ia bangkit dan ingin menguasai TI. Apalagi setelah membaca buku Nicolas Negroponte, Being Digital, keinginannya menjadi bagian dari warga digital semakin menggebu-gebu.

Jepang adalah titik awal persinggungannya dengan teknologi internet. Sekembalinya ke Tanah Air, pria kelahiran 12 September 1972 ini langsung mengejar ketertinggalannya. Tetap, bagaimana caranya? Kebetulan di kantor pos Padang saat itu sudah tersedia Wasantara.net, fasilitas milik PT Pos yang saat itu dipergunakan untuk mengirimkan wesel elektronik.

Lewat Wasantara.net itulah Budi Putra yang gemar menulis sejak duduk di sekolah menengah pertama membenamkan diri di depan komputer. Dia menelisik bagaimana internet digunakan dan apa manfaatnya.

“Saya bisa sewa sampai empat jam sehari. Padahal, saat itu biaya sewanya Rp 12.000 per jam,” kata suami Elvi Susanti ini.

Liputan TI

Perkenalan Budi Putra dengan TI membawanya ke alam yang tidak jauh dari dunia itu. Saat ia menjadi wartawan koran Tempo, ia juga diserahi tugas meliput TI dan mengelola versi on-line. Dengan berbekal ilmu TI yang dimilikinya pula, Budi Putra memutuskan keluar dari koran itu, lalu sepenuhnya hidup dan menghidupi diri dari pengetahuan TI, khususnya internet.

Bagaimana caranya ia hidup independen dari internet? Menjadi blogger!

Itulah dunia usaha yang ditemukan Budi Putra dari hasil pengembaraan pengetahuannya tentang internet yang ia kenal saat berada di Jepang. Bagaimana blog alias catatan web pribadi itu bisa menjadi tumpuan kehidupan dan dapat digunakan sebagai tambang usaha? Budi Putra punya jawaban menarik.

Menurut dia, blog sekarang sudah tak bisa dianggap enteng dan sekadar pengisi waktu luang. Blog bisa berarti tambang uang. Technorati (situs pencatat web) mencatat, sampai September 2007 sudah terdapat 106 juta blog. Di Indonesia ada 130.000 blog. Sayang, tidak banyak orang tahu bagaimana menambangnya. Ada berbagai cara, tetapi Budi Putra “baru” menemukannya beberapa cara.

Pertama, blog yang mulai berkembang sejak 1998 itu adalah web yang bisa dipasangi iklan oleh pihak ketiga. Membuat blog sendiri gratis dari penyedia blog, seperti Blogger, Movable Type dan WordPress. Pemasang iklan akan datang bila suatu blog diakses banyak visitor.

Kedua, memasang AdSense dari Google. Namun, nilai nominalnya sangat kecil karena bergantung pada lalu lintas web kita. Semakin banyak yang berkunjung, semakin tinggi kemungkinan iklan Google di web kita akan diklik oleh pengujung. Setiap iklan yang diklik itulah yang akan dibayar oleh Google.

Ketiga, menjadi pay blogger, yakni blogger berbayar. Seorang blogger dengan keahlian yang dimilikinya bisa diminta sebuah institusi media on-line untuk menulis kolom tetap. Pay blogger mendapat honor dari apa yang ditulisnya, besarnya antara Rp 300.000 dan Rp 500.000 per tulisan.

Keempat, blogger profesional bisa mengembangkan diri menjadi konsultan blog, tempat bertanya bagi perorangan atau perusahaan yang berminat membuat blog. Dia mendesain blog dan menjadi pembicara. “Saya memilih menjadi pay blogger dan konsultan blog,” kata Budi Putra.

Karena merupakan tambang baru yang belum banyak digali orang, Budi Putra nekat meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan pada 1 Maret 2007. Ia sepenuhnya mencurahkan perhatian pada urusan blog, sampai-sampai profesi di kartu namanya pun tercantum sebagai blogger.

“Saya tidak malu, malah bangga,” ucapnya.

Budi Putra mendirikan perusahaan blog, yang boleh jadi perusahaan blog pertama di Indonesia, Asia Blogging Network (ABN). Sementara sebagai pay blogger, ia rutin menulis untuk harian The Jakarta Post. Tempat Budi ngeblog antara lain di CNET Asia, The Asia Tech, Indonesia Tech dan 3Gweek. Untuk blog yang didirikannya, Budi Putra berhasil mengumpulkan 40 blogger yang dibayar untuk menulis olahraga, gaya hidup, bisnis, dan teknologi.

Koran masuk sekolah

Dilahirkan di Payakumbuh, perkenalan Budi Putra dengan dunia tulis-menulis dimulai sejak sekolah menengah pertama tahun 1987. Secara rutin tulisannya muncul di “Koran Masuk Sekolah” yang merupakan lembaran khusus Harian Singgalang. Saat sekolah menengah atas, tulisan dia dimuat antara lain di Tabloid Bola dan Majalah Gadis. Setelah reformasi pecah, tahun 1999 ia menerbitkan Harian Mimbar Minang.

Lahir dari pasangan Bachtiar dan Musril, keduanya guru di Payakumbuh, Budi Putra mengembangkan kariernya sebagai penulis. Tahun 2002 ia pindah ke Jakarta, bergabung dengan Grup Tempo. Kini, blogger yang sudah menulis lima buku teknologi internet ini mengajar di FISIP Universitas Indonesia tentang blog.

Untuk melengkapi pengetahuan, ia memiliki 30 buku khusus tentang blog. Ia kuliah S-2 bidang manajemen komunikasi di universitas di mana dia mengajar mahasiswa S-1. Tesis yang ia susun pun tak jauh dari blog, yakni Political Marketing Through Blog, dengan kajian tiga menteri yang aktif ngeblog. (Kompas, 20 November 2007)

Sabtu, 07 Februari 2009

Koleksi foto RPG Divre Batam

t

Selasa, 03 Februari 2009

Akurasi, Syarat Mutlak Karya Sejarawan

Akurasi merupakan syarat mutlak karya sejarawan. Akurasi tercapai antara lain dengan mengindahkan masukan dari piranti bantu, seperti arkeologi, epigrafi, paleografi, kronologi, dan statistik. Demikian salah satu butir orasi ilmiah Dr A Eddy Kristiyanto OFM dalam acara pengukuhan sebagai guru besar Sejarah Gereja di aula Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (25/10). Sidang Terbuka Senat STF Driyarkara dipimpin Pembantu Ketua I Dr JB Hari Kustanto.

Fakta itu suci, opini itu bebas, demikian Eddy, tetapi banyak orang tahu cara paling efektif untuk memengaruhi massa, yaitu dengan menyeleksi dan menyusun fakta secara tepat.

Prof Eddy merasa ”enggan” menggunakan pendekatan dekonstruksionisme yang disederhanakan sebagai deskripsi hitam putih yang menuntut, kebenaran sejarah adalah kesesuaian ungkapan dan fakta sehingga kebenaran harus dibongkar. Pendekatan itu ada baiknya diperhatikan agar pendasaran teori sejarah bisa seobyektif mungkin. Pendekatan ini tidak sekadar deskripsi hitam putih, tetapi sebuah karya sejarah yang memungkinkan sejarawan memiliki cara penggambaran, penafsiran, dan pola memaknai yang berbeda-beda meskipun peristiwa yang disorot sama.

Fakta hanya berbicara apabila sejarawan mencari, menemukan, dan mengolahnya. ”Hanya sejarawan yang memutuskan apakah Supersemar itu suatu fakta historis, kendati pada tanggal yang sama ada sekian juta orang yang menulis surat. Kenyataan ini bisa saja tidak digubris oleh sejarawan.”

Menurut Ketua STF Driyarkara itu, sejarawan mutlak perlu melakukan seleksi atas fakta. Fakta menyangkut interpretasi. Amat sering sejarah dicemari fakta nonhistoris, sehingga bidaah dalam sejarah pun bermunculan, karena sejarah kemudian terdiri atas himpunan fakta yang tidak dapat ditolak dan tidak obyektif. Sejarah merupakan perekayasaan dalam pikiran sejarawan. Penyusunan masa lalu tergantung dari data empiris, yang mengharuskan seleksi dan penafsiran fakta historis. Menulis sejarah merupakan satu-satunya jalan membuat sejarah.

Dengan proses di atas, untuk mendeskripsikan masa lalu dengan akurat dan obyektif, sejarawan dituntut konsisten menaati prinsip-prinsip penelitian dengan semangat ”kebenaran ilmiah”, tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, bebas dari kepentingan nonilmiah, dan bersifat induktif. Persyaratan hanya dilakukan lewat interpretasi.

Sesuai judul orasinya ”Sejarah sebagai locus philosophicus et theologicus”, Prof Eddy menyimpulkan, menjadi seorang sejarawan filsafat berarti mengolah filsafat dari si subyek. Menjadi seorang sejarawan teologi berarti mengolah teologi dari si subyek. Di antara para filsuf dan teolog ada ketegangan bahkan konflik, perlu disadari pada dasarnya bersatu padu, yakni di dalam Tuhan yang adalah asal usul sekaligus tujuan eksistensi segala sesuatu yang ada, yang kini ada, dan yang akan ada.

Lahir di Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, 5 Juli 1958, doktor sejarah Gereja lulusan Universitas Gregoriana tahun 1996 dan masuk Ordo Fransiskan sejak 1978, Romo Eddy Kristiyanto sejak 2007 adalah Ketua STF Driyarkara. Beberapa karya buku, di antaranya, Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria (2008) dan Visi Historis Komprehensif, Sebuah Pengantar (2003). (STS)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008